Selasa, 26 Maret 2019

MENGENAL GADAI DALAM KACA MATA ISLAM



MENGENAL GADAI DALAM KACA MATA ISLAM
Makalah ditulis untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Mu’amalah
Dosen Pengampu: Ust.Fajrun Mustaqim


Oleh :
Ihda Husna Yaini
Uswatun Hasanah

AL-MA'HAD AL-'ALY LID DIRASAH AL-ISLAMIYYAH
HIDAYATURRAHMAN
SRAGEN

2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah meninggikan langit tanpa tiang dan menghiasinya dengan bintang-bintang. Shalawat dan salam tak lupa kita haturkan kepada nabiyullah Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam yang dengan izinNya dapat membelah bulan dan menjadikannya sebagai penguat keimanan.
Tujuan kami menulis makalah ini adalah untuk mencoba mengenalkan apa itu pegadaian dalam kaca mata islam. Makalah ini kami tulis untuk memenuhi tugas harian semester III Makalah Mu’amalah. Dengan terselesainya makalah ini kami mengharap  adanya kritik dan saran  atas kekurangan kami dalam menyusun makalah ini, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat serta berguna khususnya bagi penulis dan mahasantri Hidayaturrahman pada umumnya.

      Sragen,10 Oktober 2017

BAB I
PENDAHULUAN
1.1      Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna. Semua permasalahan dari seluk beluk kehidupan ini dibahas didalamnya. Baik dari permasalahan hukum, mu’amalah, adab, ibadah hingga hal yang paling sepele didunia ini, semuanya didiatur dalam islam. Oleh karena itu kita sebagai muslim hendaknya mengetahui aturan-aturan tersebut secara terperinci agar dapat mempermudah amal keseharian kita yang nantinya kita dapat menjalankan kehidupan kita secara benar menurut koridor syariat dan tidak gagal paham serta melenceng dari islam.
Pada era modern ini, alat-alat canggih banyak diproduksi. Sehingga banyak peluang masyarakat hari ini untuk membeli alat-alat modern tersebut, demi  memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini dapat memancing setiap individu dari masyarakat untuk melakukan transaksi utang-piutang. Utang-piutang sendiri tidak dapat kita hindari dalam muamalah keseharian kita. Dan seiring bergantinya zaman rasa kepercayaan sesama individu masyarakat semakin terkikis. Sehingga dalam muamalah utang-piutang ini banyak dari mereka yang meminta adanya jaminan atau disebut barang gadai.
Gadai merupakan masalah kontenporer didalam muamalah hari ini. Banyak ketentuan-ketentuan didalamnya yang harus kita ketahui dan teliti secara detail. Sehingga kita dapat terhindar dari muamalah yang mengandung unsur riba dan sejenisnya. Oleh karena itu kami selaku penulis akan mencoba sedikit menjelaskan apa itu gadai dan hal apa saja yang berkaitan dengannya.  
1.2      Rumusan Masalah
1.2.1        Apa definisi dan dalil tentang gadai?
1.2.2        Apa rukun dan syarat gadai?
1.2.3        Apa hukum gadai?
1.3      Tujuan Penulisan
1.3.1        Mengetahui definisi dan dalil tentang gadai.
1.3.2        Mengetahui rukun dan syarat gadai.
1.3.3        Mengetahui  hukum gadai.

  Bab II
PEMBAHASAN
2.1  Definisi dan dalil tentang gadai
2.1.1        Definisi gadai
Ar-rahnu secara bahasa artinya adalah at-tsubuut dan ad-dawaam (tetap). Namun dzahirnya, makna ar-rahnu yang utama adalah al-habsu (menahan), karena ini adalah arti yang bersifat materi.
Sedangkan definisi akad ar-rahnu menurut istilah syara’ menahan sesuatu disebaban adanya hak yang memungkinkan hak itu bisa dipenuhi dari sesuatu tersebut. Maksudnya, menjadikan al-‘ain (barang,  harta yang berwujud konkrit kebalikan dari ad-dain atau utang yang memiliki nilai menurut pandangan syara’ sebagai watsiqah (pengukuhan jaminan) utang, sekiranya barang itu memungkinkan untuk digunakan membayar seluruh atau sebagian utang yang ada.
Ada beberapa definisi ar-rahnu yang dikemukakan para ulama fiqih:
1.      Ulama Syafi’iyah mendefinisikan ar-rahnu seperti berikut menjadikan suatu barang sebagai jaminan utang yang barang itu digunakan untuk membayar utang tersebut.
2.      Ulama Hanabilah mendefinisikan ar-rahnu adalah harta yang digunakan sebagai jaminan utang yang ketika pihak yang menanggung utang tidak bisa melunasinya maka utang tersebut dibayar dengan menggunakan harga hasil penjualan harta yang dijadikan jaminan tersebut.
3.      Ulama Malikiyah mendefinisikan ar-rahnu sebagai sesutau yang berbentuk harta dan memiliki nilai yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan jaminan yang keberadaannya sudah dilazimi (positif dan mengikat) atau yang akan menjadi lazim. Maksudnya, suatu akad atau kesepakatan mengambil sesuatu dari hart yang bebrbentuk barang, seperti harta yang tidak bergerak seperti harta rumah dan tanah.
4.      Ulama Malikiah mendefinisikan ar-rahnu bukanlah penyerahan secara konkrit akan tetapi menurut mereka ar-rahnu sudah terbentuk, sah dan berlaku mengikat hanya dengan ijab dan qabul, kemudian setelah itu pihak yang menerima gadai meminta untuk mengambil sesuatu yang digadaikan tersebut.
2.1.2        Dalil tentang gadai
Hukum ar-rahnu disyariatkan berdasarkan alqur’an dan ijma’.
a.       Al-qur’an:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ(283)
“Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”. (Al-Baqarah: 283)
Ulama sepakat bahwa ar-rahnu hukumnya adalah boleh, baik ketika ditengah perjalanan, maupun ketika menetap, berbeda dengan pendapat Mujahid Dan Ulama Dzahiriah. Karena sunnah menjelasan tentang pensyariatan ar-rahnu secara mutlak, baik ketika sedang dipertengahan perjalanan maupun ketika sedang menetap.
b.      Sunnah
Maka Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah R.A :
إشترى رسول الله من بنسيؤة ورهنه درعه
“ Suatu ketika, rasulullah saw, membeli makanan dari seoarang yahudi tidak secara tunai dengan mengandalkan perisai beliau kepadanya.”
Hikmah disyariatkannya untuk menjamin dan mengukuhkan utang. Apabila al-kafal adalah menjamin utang dengan penjaminan manusia, maka ar-rahnu adalah menjamin utang dengan menggunakan harta sebagai jaminannya, dalam rangka memudahkan masalah utang-piutang.
Adapun ijma’, maka kaum muslimin telah berijma’ tentang bolehnya akad ar-rahnu. Akad gadai juga memberikan maslahat bagi pihak yang menggadaikan karena dia bisa mendapatkan sesuatu (utang) yang dibutuhkannya secara tunai atau dirinya bisa menangguhkan harga pembayaran barang yang dibelinya dengan menyerahkan suatu barang miliknya kepada pihak penjual sebagai barang gadaian. Oleh karena itu akad gadai bisa menciptakan kemaslahatan bagi kedua belah pihak.
2.2  Rukun dan syarat gadai
2.2.1        Rukun dan syarat gadai
Rukun pegadaian atau gadai terdapat empat unsur didalamnya, yaitu ar raahin, al murtahin, al marhun atau ar-rahnu, dan al marhuun bihi. Rukun ar-rahnu didalam madhab Hanafiyyah adalah ijab dari ar raahin dan qabul dari al murtahin, seperti akad-akad yang lain. Akan tetapi akad ar-rahnu belum sempurna dan belum berlaku mengikat (laazim) kecuali setelah adanya al qabdhu atau serah terima barang yang digadaikan.[1]
Sementara itu selain ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa rukun ar-rahnu ada empat, yaitu shiighah (ijab qabul), ‘aaqid (pihak yang melakukan akad), marhuun, dan marhuun bihi (ad dain).[2]
2.2.2        Syarat-syarat Ar-Rahnu
Syarat-syarat ar-rahnu sebagai berikut, syarat-syarat terbentuknya akad (syarat in’iqaad), syarat-syarat sah, dan satu syarat luzum yaitu al qabdhu. Syarat-syarat ini akan kami jelaskan secara terperinci inshaAllah.
1.      Adapun syarat-syarat terbentuknya akad (syarat in’iqaad) ada dua yaitu syarat kedua belah pihak yang melakukan akad dan syarat shighah sebagai berikut,[3]
A.    Syarat-syarat kedua belah pihak yang melakukan akad, yaitu ar raahin dan al murtahin.
a.       Al ahliyyah (memiliki kelayakan dan kompetensi melakukan akad). Ahliyyah menurut ulama Hanafiyyah adalah ahliyyatul bai’ (kelayakan untuk melakukan jual beli). Disyaratkan kedua belah pihak yang mengadakan ar-rahnu harus berakal dan mumayyiz.maka orang gila dan anak kecil yang belum mumayyiz idak boleh melakukan akad ar-rahnu. Didalam ar-rahnu tidak disyaratkan bagi al aaqidain (orang yang melakukan akad) harus baligh. Anak kcil yang sudah mumayyiz dan orang dewasa yang safiih sah untuk melakukan akad ar-rahnu, namun statusnya digantungkan kepada persetujuan dan pengesahan pihak wali.[4]
b.      Seorang wali atau washi menggadaikan harta si anak yang berada dibawah perwaliannya menurut ulama Hanafiyyah. Dalam hal ini ada tiga hal yang akan dibahas sebagai berikut,
1.      Menggadaikan harta si anak atau orang gila sebagai jaminan utang si anak atau orang gila itu sendiri. Seorang wali boleh menggadaikan harta al qaasir (anak kecil, orang gila, orang idiot dan sejenisnya) sebagai jaminan utang yang mana utang tersebut demi kepentingan al qaashir untuk memenuhi kebutuhannya, atau disebabkan aktifitas pengelolaan, pemutaran dan memperdagangkan harta al qaashir.[5]
2.      Menggadaikan harta si anak atau orang gila sebagai jaminan utang pihak wali sendiri. Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, prinsip istihsaan menghendaki hukum bolehnya seorang kakek, ayah maupun washi atau wali menggadaikan harta al qaashir sebagai utang jaminan pribadi.
3.      Posisi si anak terhadap ar-rahnu setelah dirinya mencapai usia akil baligh. Jika seorang anak mendapatkan hartanya telah digadaikan oleh walinya untuk kepentingan pribadi wali, maka anak yang telah baligh berhak meminta ganti harta yang telah digadaikan oleh si wali agar haknya dapat terpenuhi.
4.      Pihak yang mengadakan akad ar-rahnu lebih dari satu. Ar-rahnu dengan pihak ar raahin dan al murtahin lebih dari satu adalah sah karena tidak ditemukannya unsur asy syuyuu’ (hak bersama yang masih umum dan belum ditentukan bagian masing-masing) yang menjadi sebab tidak sahnya ar-rahnu menurut ulama Hanafiyyah.[6]
B.     Syarat-syarat as shighah (ijab qabul)
Menurut ulama Hanafiyyah mensyaratkan bahwa akad tidak boleh digantungkan  kepada syarat tertentu dan waktu yang datang. Karena akad ar-rahnu mempunyai unsur kebersamaan dengan akad jual beli dilihat dari sisi bahwa ar-rahnu adalah jalan untuk membayar utang dan mendapatkan pembayaran utang.[7] Apabila ar-rahnu disandarkan pada syarat tertentu dan waktu mendatang maka ar rahu menjadi tidak sah, sebagaimana jual beli.[8]
Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa syarat yang disyaratkan didalam akad ar-rahnu ada tiga macam,
a.       Syarat yang sah. Yakni mensyaratkan dengan sesuatu yangs esuai dengan tuntutan atau konsekuensi akad ar-rahnu itu sendiri. Akad ar-rahnu yang dibarengi dengan bentuk syarat seperti ini sah dan syarat tersebut juga sah, sama seperti akad jual beli.
b.      Syarat yang tidak sah dan tidak berlaku. Yaitu mensyaratkan dengan sesuatu yang tidak mengandung manfaat dan maslahat serta tujuan sehingga syarat ini tidak sah dan tidak berlaku, namun akad ar-rahnu yang ada tetap sah.[9]
c.       Syarat yang tidak sah sekaligus menjadikan akad ar-rahnu yang ada ikut menjadi tidak sah. Seperti mensyaratkan dengan sesuatu syarat yang merugikan pihak al murtahin dan sebaliknya. Syarat yang seperti ini tidak sah. Bahkan tidak hanya syarat tersebut yang batal dan tidak sah, akan tetapi menurut pendapat yang adzhar, akad yang dibarengi dengan syart diatas juga ikut tidak sah dan batal.[10]
Akad gadai dianggap sah dengan semata-mata adanya qabul. Meskipun belum diterima,orang yang menggadai dipaksa untuk menyerahkan barang yang digadaikannya. Demikian pendapat imam maliki, imam hanafi, dan imam syafi’i. Sedangkan menurut imam hambali berpendapat, termasuk syarta sahnya gadai adalah penyerahan (ijab). Oleh karena itu akad gadai tidak salah tanpa adanya penyerahan.[11]
C.     Syarat-syarat al marhuun bihi
1.      Al marhuun bihi harus merupakan hak wajib diserahkan kepada pemiliknya. Karena jika al marhuun bihi bukan sebuah hak yang wajib diserahkan kepada pemiliknya, maka tidak ada alasan untuk memberikan sesuatu yang digadaikan sebagai jaminan.[12]
2.      Al marhuun bihi harus berupa utang yang dimungkinkan untuk dipenuhi dan dibayar dari al marhuun (barang yang digadaikan). Apabila al marhuun bihi tidak mungkin untuk terbayarkan dari al marhuun, maka akad ar-rahnu tidak sah. Karena al irtihaan (menerima gadai) tujuannya untuk istifa’ (mendapatkan bayaran hak atau utang). Oleh karena itu jika elemen al istifa’ tidak ada maka ar-rahnu dan tujuannya tidak ada.[13]
3.      Hak yang menjadi al marhuun bihi harus diketahui dengan jelas dan pasti. Tidak sah suatu akad ar-rahnu dengan  al marhuun bihi berupa hak yang tidak diketahui dengan jelas dan pasti.[14]
D.    Syarat-syarat al marhuun (sesuatu yang diagadaikan)
Al marhuun adalah harta yang ditahan oleh pihak al murtahin untuk mendapatkan pemenuhan atau bayaran haknya (istifa’) yang menjadi al marhuun bihi.
Adapun syart-syarat al marhun menurut ulama Hanafiyyah yaitu sebagai berikut, berupa harta yang memiliki nilai, diketahui dengan jelas dan pasti, bisa untuk diserahkan, dipegang, dikuasai, tidak tercampur dengan sesuatu yang tidak termasuk al marhuun, terpisah dan teidentifikasi, baik itu berupa harta bergerak atau tidak bergerak, baik itu harta mitsli ataupun qiimi.[15]
Saat melakukan transaksi menjual barang secara tidak tunai atau saat memberikan pinjaman, dibenarkan pihak penjual dan krediktor meminta barang gadai dari pembeli. Atau peminjam uang sebagai jaminan.
Bila jatuh tempo pelunasan dan pihak yang berutang tidak melunasi tanggungannya maka barang gadai boleh dijual, lalu dipotong utang dan sisanya dikembalikan ke pemiliknya.
Yang perlu diingat bahwa barang gadai tidak boleh digunakan oleh pihak yang memberikan utang karna termasuk riba.[16]
Imam Syafi’I berkata:“Bila seseorang memberi pinjaman 1000 keping uang emas dan ia mensyaratkan agar peminjam memberikan barang gadai sebagai jaminan dan pemberi pinjaman mensyaratkan boleh menggunakan barang tersebut maka pensyaratan tersebut tidak sah karena ia mendapatkan keuntungan dari barang yang ia pinjamkan”.
Abdullah As-Samarqandi berkata:“Pemberi utang tidak halal menggunakan barang gadaian dalam kondisi apapun sekalipun pemilik barang gadainya mengizinkannya karena hal itu adalah riba dimana penerima pinjaman membayar utang penuh dan keuntungan menggunakan barang gadaian adalah sebagai tambahan  utang ini sudah jelas riba.”
Ibnu Qudamah berkata:“Barang gadaian tidak boleh digunakan oleh pemberi pinjamanjika barang tersebut tidak membutuhkan biaya perawatan, sekalipun pemilik barang mengizinkannya. Karena itu adalah pimjaman yang memberi keuntungan. Hukumnya adalah haram kecuali pengguna barang gadai memberi imbalan.”
Haram menggunakan barang gadaian, kecuali dalam dua hal:
1.      Pemberi pinjaman telah mengeluarkan biaya perawatan untuk barang gadaian seperti ia telah memberikan rumput untuk sapi yang telah digadaikan.
Hal ini dibenarkan karena biaya perawatan sebagai imbalan dari pemanfaatan barang, jadi utang tidak bertambah dan tidak ada riba, sesuai dengan sabda nabi saw:
“Hewan ternak yang digadaikan boleh ditunggangi dan diperah susunya oleh pemberi pinjaman jika ia telah mengeluarkan biaya.” (HR. Bukhari)
2.      Pemberi pinjaman memberikan imbalan atas penggunaan barang gadaian.[17]
E.     Syarat sempurna akad ar-rahnu, yaitu al qobdhu
Secara garis besar fuqaha’ sepakat bahwa al qobdhu masud kedalam syarat akad ar-rahnu. Hal ini berdasarkan ayat dibawah,
فرهان مقبوضة......(283)
“...maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)...” [al baqarah:283][18]
Jumhur ulama selain ulama Malikiyyah berpendapat bahwa al qabdhu tidak merupakan syarat sah akad ar-rahnu, akan tetapi syarat berlaku mengikatnya akad ar-rahnu. Oleh karenanya akad ar-rahnu belum berlaku mengikat kecuali setelah adanya al qabdhu.
Sementara itu ulama Malikiyyah berpendapat bahwa akad ar-rahnu tidak bisa sempurna (faedahnya) kecuali dengan adanya al qabdhu atau al hauz.[19] Hal-hal yang berkaitan dengan ar-rahnu ada tiga sebagai berikut,
a.       Tata cara dan bentuk al qabdhu atau sesuatu yang dengannya al qabhdu bisa terealisasi. Fuqaha’ sepakat bahwa al qabdhu, jika al marhuunn berupa harta tidak bergerak adalah dengan cara menyerhkannya dengan bentuk penyerahan yang sesungguhnya dan nyata. Atau at takhliyah yaitu menghilangkan sesuatu yang dapat menghalangi al qabdhu.
b.      Pegadaian formalitas harta tidak bergerak atau sesuatu yang bisa menggantikan fungsi al qabdhu. Yang dimaksudkan syarat al qabdhu terhadap marhuun adalah memberikan jaminan kepada pihak ad da’in, yaitu al murtahin. Serta memberikan rasa aman dan percaya didalam dirinya dengan memberikan kuasa untuk menahan dan memegang al marhuun dibawah kuasanya, supaya ia memperoleh haknya dari al marhuun tersebut.[20]
c.       Syarat-syarat al qabdhu ada tiga yakni, al qabdhu harus atas izin pihak Ar raahin, ketika dilakukan al qabdhu kedua belah pihak yang melakukan akad ar-rahnu harus memiliki kelayakan dan kompetensi (ahliyyah) melakukan akad dan al qabdhu harus dilakukan dalam bentuk permanen.
Fuqaha’ sepakat agar al qabdhu sah, maka harus atas izin dari pihak ar raahin. Sedangkan maksud ahliyyah yang harus dimiliki setiap al aaqidain yaitu keduannya harus berakat, baligh, dan tidak dalam status dilarang mentasharufkan harta (al mahjuur) karena masih kecil atau gila ataupun karena tidak memiliki kemampuan mengelola dan membelanjakan harta dengan baik dan benar dengan bersikap as safah atau menghambur-hamburkan harta.[21] Ulama Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah mensyaratkan bahwa al qabdhu harus dilakukan dalam bentuk yang permanen, dalam artian al marhuun harus tetap berada didalam genggaman al murtahin. Sebagaimana ayat yang telah disebutkan diatas,[22]
فرهان مقبوضة......(283)
“...maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)...” [Al Baqarah:283]
2.3   Hukum gadai
Menurut fuqaha’ menggadaikan barang hukumnya boleh, baik dalam keadaan mukim maupun safar. Dawud berpendapat gadai hanya diperbolehkan khusus ketika bepergian.[23] Dalam pembahasan ini mencakup dua bagian, pertama hukum-hukum akad ar-rahnu yang sah dan hukum akad ar-rahnu yang tidak sah. Akad ar-rahnu  yang sah adalah akad ar-rahnu yang memenuhi syarat-syarat akad ar-rahnu.Sedangkan akad ar-rahnu yang tidak sah adalah yang tidak memenuhi syarat-syarat ar-rahnu. Akad ar-rahnu yang tidak sah menurut ulama Hanafiah ada dua yaitu bathil (batal) dan faasid  (rusak).
2.3.1        Akad Ar-rahnu yang batal
yaitu akad ar-rahnu yang tidak memenuhi salah satu syarat yang berkaitan dengan asal akad, seperti pihak yang mengadakan akad tidak memliki kelayakan dan kompetens (al -ahliyah) melakukan akd seperti orang gila dan orang dungu atau tidak adanya objek akad seperti menggadaikan sesuatu yang tidak memiliki sifat harta sama sekali atau al-marhun bihi nya tidak busa dipenuhi dengan harta seperti hak qishas dan hak syuf’ah, atau akad rahn kehilangan maknanya seperti mensyarakan al-marhun tidak boleh  dijual untuk emlunasi al-marhun bihi atau mesyaratkan al-murtahin tidak memiliki posisi lebih dibanding para pihak yang berpiutang kepada ar-raahin lainnya.
2.3.2        Akad Ar-rahnu yang faasid (rusak)
Yaitu akad rahn yang tidak memenuhi salah satu syarat yang berkaitan dengan sifat akad, seperti al-marhun (seperti menggadaikan rumah yang didalamnya terdapat barang-barang milik ar-rahin namun barang-barang itu tidak termasuk tergadaikan) atau al-marhun bihi berupa barang yang tertanggung dengan selain barang itu sendiri seperti barang yang dijual yang masih berada ditangan pihak penjual berdasarkan berdasarkan riwayat an-nawaadir karena barang yang dijual yang masih berada ditangan pihak penjual tertanggung dengan harganya. Namun menurt dzahir riwayat sah  mengadakan akad ar-rahnu dengan akad al-marhun bihi berupa barang yang dibeli yang belum berada ditangan pembeli atau dengan kata lain yang masih berada ditangan penjual. Sedangkan akad yang tidak sah menurut ulama selain Hanafiah hanya ada satu macam yaitu akad ar-rahnu yang batal atu rusak, yaitu akad ar-rahnu yang tidak memenuhi syarat-syarat sah ar-arahn yang mereka tetapkan dengan beberapa perbedaan diantara mereka dalam sebagian syarat tersebut.

2.3.3        Hukum ar-rahnu yang sah atau hukum berlaku mengikatnya akad ar-rahnu
Berlaku mengikatnya akad ar-rahnu hanya sepihak yaitu hanya bagi ar-rahn saja, bukan bagi al-murtahin. Oleh karena itu arrahin tidak memilik hak untuk membatalkan dan menganulirnya, karena kad ar-rahn adalah akad jaminan utang adapun al-murtahin maka ia memiliki hak untuk membatalkannya kapan saja, karena akad ar-rahn adalah untuk kemaslahatan dan kepentingan dirinya. Akad ar-rahn menurut seluruh fuqaha belum memiliki keonsekuensi hukum apa-apa kecuali dengan al-qabdhu (al-amrhun sudah dipegang dan berada ditangan murtahin).
Menurut jumhur berlaku mengikatnya akad ar-rahn belum bisa terealisasikan kecuali dengan al-qabdhu. Adapun sebelum adanya al-qabdhu maka akad ar-rahn yang ada belum berlaku mengikat bagi ar-rahain sehingga ia masih memiliki hak untuk meneruskan ataupun memmbatalkannya.dalil yang mereka jadikan dasar pendapat ini adalah:
فَرِهَانٌ مَقْبُوضَة
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).(Al-Baqarah:283)
Sedangkan menurut ulama Malikiah ar-rahn sudah bisa terealiasasikan hanya dengan ijab dan qabul  sedangkan al-qabdhu hanyalah syarat sempurnanya akad. Jika telah ada ijab dan qabul maka akad sah secara otomatis sudah berlaku mengikat dan pihak ar-rahn dipaksa untuk menyerahkan al-marhun kepada al-murtahin selama tidak ada salah satu dari empat penghalanag ini:
1.      Meninggalnya ar-rahn setelah berlangsungnya akad dan sebelum penyerahan al-marhuun kepada al-murtahin.
2.      Para pihak yang berpiutang lalinnya menuntut dan menagih ar-raahin agar melunasi utang-utangnya kepada mereka.
3.      Ar-raahin megalami kepailitan yang bersifat menyeluruh, maksudnya semua harta mulik ar-raahin jika digunakan untuk menggunakan utang-utang tersebut, maka akan habis tanpa tersisa.
4.      Ar-raahin mengalami sakit keras atau gila sampai ia meninggal dunia.


Bab III
PENUTUP
3.1              Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Ar-rahnsecara bahasa artinya adalah at-tsubuut dan ad-dawaam (tetap). Makna ar-rahn yang utama adalah al-habsu (menahan), karena ini adalah arti yang bersifat materi. Sedangkan definisi akad ar-rahn menurut istilah syara’ menahan sesuatu disebabankan adanya hak yang memungkinkan hak itu bisa dipenuhi dari sesuatu tersebut.
2.      Dalil :
a.       Al-qur’an:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ(283)
“Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”. (Al-Baqarah: 283)
b.      Sunnah:
Maka Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah R.A :
إشترى رسول الله من بنسيؤة ورهنه درعه
“ Suatu ketika, rasulullah saw, membeli makanan dari seoarang yahudi tidak secara tunai dengan mengandalkan perisai beliau kepadanya.”
3.      Rukun gadai ada empat unsur yaitu ar raahin, al murtahin, al marhun atau ar-rahnu, dan al marhuun bihi. Adapun syarat-syarat ar-rahnu sebagai berikut, syarat-syarat terbentuknya akad (syarat in’iqaad), syarat-syarat sah, dan satu syarat luzum yaitu al qabdhu.
4.      Ulama sepakat bahwa ar-rahn hukumnya adalah boleh. Hukum pegadaian akad ar-rahn ada dua, yaitu hukum akad ar-rahn yang sah dan hukum akad ar-rahn yang tidak sah. Akad ar-rahn yang tidak sah menurut ulama Hanafiah ada dua yaitu bathil (batal) dan faasid  (rusak).
3.2              Saran
Penulis sampaikan bahwa tulisan ini masih banyak sekali yang perlu dilengkapi dan diperbaiki. Banyak persoalan yang belum terbahas. Kelemahan serta kekurangan pastilah ada karena itu sudah menjadi sifat manusia.Penulis juga belum secara sempurna jelaskan secara rinci dan ringkas tentang apa yang dibahas diatas.
Saran bagi penulis pribadi agar bisa melengkapi jika Allah Subahanahu wa Ta’ala mengizinkan. Akan tetapi jika hal itu tidak memungkinkan, harapan penulis bagi generasi selanjutnya untuk bisa melengkapinya dengan menyajikan data-data yang lebih valid. Semoga Allah selalu memberkahi dan merahmati setiap apa yang telah diusahakan setiap diri kaum muslimin. Aamiin.

3.3              Penutup
Tiada kata lain yang pantas terucap dari lisan penulis selain lantunan syukur kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Al-hamdulillahi Robbil ‘Alamin yang melimpahkan kekuatan dan kemampuan serta kesempatan untuk hamba-Nya yang lemah ini, sehingga tanpa izin dan rahmat-Nya tidak akan selesai makalah ini meski sangat jauh dari kesempurnaan.
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih banyak didapat kesalahan dan kekurangan. Dengan kelapangan dada, penulis sangat mengharap saran dan kritik yang membangun dari semua pihak yang membaca makalah ini, demi tercapainya ilmu yang dimaksud. Atas kekurangan tersebut penulis meminta maaf dan memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.










DAFTAR PUSTAKA
1.       AZ-ZUHAILI, Wahbah, Alwajiz Fii Fiqhil Islam, (Damaskus: Darul Fikr).
2.       AD-DIMASYQI , Syeikh Al-‘Allamah, Rahmah Al-Ummah Fi Ikhtilaf Al-A’mmah, (Al-Haramain: jeddah).
3.       AZ-ZUHAILI, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr).
4.       Dr. Erwandi Tarmizi MA, Harta Haram Muamalat Kontemporer.





[1] AZ-ZUHAILI, Wahbah, Alwajiz Fii Fiqhil Islam, (Damaskus: Darul Fikr),Hlm 218.
[2] AZ-ZUHAILI, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr), Hlm: 111.
[3] Ibid, Alwajiz Fii Fiqhil Islam,Hlm 219.
[4] AZ-ZUHAILI, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr), Hlm: 113.
[5] Ibid, Hlm: 114.
[6] Ibid, hlm: 117.
[7] AZ-ZUHAILI, Wahbah, Alwajiz Fii Fiqhil Islam, (Damaskus: Darul Fikr),Hlm 218.
[8] AZ-ZUHAILI, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr), Hlm: 118.
[9] Ibid, hlm: 119.
[10] AZ-ZUHAILI, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr),hlm: 120.
[11] AD-DIMASYQI , Syeikh Al-‘Allamah, Rahmah Al-Ummah Fi Ikhtilaf Al-A’mmah, Al-Haramain: jeddah, hlm 235.
[12] AZ-ZUHAILI, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr),hlm: 123.
[13] Ibid, hlm: 129.
[14] Ibid, hlm: 130.
[15] Ibid, hlm: 133.
[16] Dr. Erwandi Tarmizi MA, Harta Haram Muamalat Kontemporer, hlm.409.


[17] Ibid, Harta Haram Muamalat Kontemporer, hlm: 411.
[18] Ibid, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, hlm: 138.
[19] Ibid, hlm: 139.
[20] Ibid, hlm: 141.
[21] Ibid, hlm: 143.
[22] Ibid, hlm: 145.
[23] AD-DIMASYQI , Syeikh Al-‘Allamah, Rahmah Al-Ummah Fi Ikhtilaf Al-A’mmah, Al-Haramain: jeddah, hlm: 235.