Fenomena Istihza’ Modern
Oleh: Uswatun Hasanah
Dewasa ini dimana zaman yang semakin berkembang,
kaum kafir semakin kreatif dalam mencari cara untuk menjatuhkan Islam. Fenomena
mencela, memperolok dan menghina semakin merebak didunia modern seperti saat
ini. Dengan berbagai model cara yang bermacam-macam yang semakin bervariasi,
sehingga perlu adanya ketelitian dan kejelian dalam menyikapinya.
Menghina merupakan sebuah perbuatan yang
tercela, bagaimana pun bertuknya, kepada siapapun dan kapanpun itu. Karena
menghina merupakan sebuah kedhaliman yang nyata, baik kepada sesama
hamba. Sebagai klimaksnya merupakan perbuatan yang menjerumuskan kepada
kekafiran, bahkan menyebabkan seseorang dikenai hukuman dengan dibunuh. Tanpa harus
di minta untuk bertaubat dan meminta maaf, jika penghinaan ditujukan kepada Allah
ta’ala dan RasulNya.
Para ulama memasukkan istihza’ kepada Allah
dan Rasulnya dalam perkara-perkara yang dapat membatalkan keimanan dan keIslaman
seseorang. Karena begitu beratnya konsekwensi pelanggaran istihza’ dalam
pandangan syar’i maupun dalam pandangan manusia. Dalam pandangan manusia
saja dari kasus yang terjadi menghina dapat menimbulkan pertumpahan darah
apalagi dalam pandangan syar’i. Oleh karena itu Islam telah
memperingatkan kita untuk senantiasa menjaga lisan kita dari segala bentuk
ucapan yang dapat menyebabkan kita keluar dari keimanan. Sehingga kita bisa
lebih berhati-hati dalam berkata dan berperilaku.
Istihza’ berasal dari kata استهزأ yang bermakna mengejek, memperolok-olok, dan
mencemooh.[1] سخر (sakhira) yang berarti mengejek, mencemooh, memperolok, menertawakan dan mencibir.[2] Sedangkan
dalil dasar adanya istihza’ ialah firman Allah ta’ala,
يَحْذَرُ
الْمُنَافِقُونَ أَن تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُم بَمَا فِي
قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِءُوا إِنَّ اللهَ مُخْرِجُ مَاتَحْذَرُونَ
“Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu
surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah
kepada mereka: “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan RasulNya)”.
Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti.” [At-Taubah/9 : 64].
وَلَئِن
سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ
وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan
itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda-gurau dan
bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya,
kamu selalu berolok-olok?”. [At Taubah/9 : 65].
Maka turunlah firman Allah
subhanahu wata’ala,
أبا لله و
ءاياته و رسوله كنتم تستهزءون
“Apakah dengan Allah,
ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?”. Sesungguhnya kedua
kakinya tersandung-sandung batu, sedangkan Rasulullah sallAllahu ‘alaihi was
sallam tidak menoleh kepadanya, dan ia bergantung di tali pelana Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam.
لاَتَعْتَذِرُوا
قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ
طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
“Tidak usah kamu minta
maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema’afkan segolongan dari
kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain)
disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” [At- Taubah/9 : 66].
وَيَحْلِفُونَ
بِاللَّهِ إِنَّهُمْ لَمِنْكُمْ وَمَا هُمْ مِنْكُمْ وَلَكِنَّهُمْ قَوْمٌ
يَفْرَقُونَ
“Dan mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa
sesungguhnya mereka termasuk golongan kalian, padahal mereka bukanlah dari
golongan kalian, tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat takut (kepada
kalian)” [At-Taubah/9: 56].
لَوْ يَجِدُونَ
مَلْجَأً أَوْ مَغَارَاتٍ أَوْ مُدَّخَلا لَوَلَّوْا إِلَيْهِ وَهُمْ يَجْمَحُونَ
“Jikalau mereka
memperoleh tempat perlindungan atau gua-gua atau lubang-lubang (dalam tanah), niscaya
mereka pergi kepadanya dengan secepat-cepatnya” [At-Taubah/9: 57].
Allah ta’ala menggambarkan kepada RasulNya tentang ketakutan yang
mencekam hati orang-orang munafik, bahwa وَيَحْلِفُونَ
بِاللَّهِ إِنَّهُمْ لَمِنْكُمْ “mereka bersumpah dengan (nama)
Allah, bahwa sesungguhnya mereka termasuk golongan mu”. Dengan sumpah
yang pasti, وَمَا هُمْ مِنْكُمْ “padahal mereka bukanlah dari golongan mu”. Yakni, pada saat yang
sama. Dan Allah berfirman: وَلَكِنَّهُمْ قَوْمٌ يَفْرَقُونَ “akan tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat takut.” Hal
inilah yang membawa mereka untuk bersumpah. لَوْ يَجِدُونَ
مَلْجَأً “Jikalau mereka memperoleh
tempat kembali.” Yaitu benteng berlindung dan temapt bersembunyi. أَوْ مَغَارَاتٍ “atau gua-gua”. Yaitu gua-gua yang terdapat di
bukit-bukit. أَوْ مُدَّخَلا “atau lubang-lubang”. Yakni lubang di
dalam tanah (bungker) dan terowongan.
Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, dan Qatadah. لَوَلَّوْا
إِلَيْهِ وَهُمْ يَجْمَحُونَ “niscaya mereka pergi kepadanya
dengan secepat-cepatnya”. Maksudnya, mereka pasti akan bersegera pergi darimu,
karena sesungguhnya mereka mau bergaul denganmu hanyalah karena terpaksa, bukan
karena senang. Bahkan hati mereka berharap seandainya saja mereka tidak bergabung
denganmu. Oleh karena itulah mereka selalu berada dalam kebimbangan dan
kesedihan karena Islam dan kaum muslimin selalu memperoleh kemenangan dan
kemuliaan. Setiap kali kaum muslimin mendapatkan kegembiraan, pastilah mereka
bersedih.[3]
Sebagaimana fenomena zaman now, kita akan melihat banyak
kejadian-kejadian kotroversi yang membuat umat Islam Indonesia geram
menyikapi permasalahan yang dibuat musuh-musuh Islam. Mulai Said Aqil Shiraj yang
mengatakan bahwa jenggot dapat mengurangi kecerdasan intelligence quotient (IQ). Dalam pidatonya Said Aqil menyinggung sunnah Rasulullah, syariat
Islam dan mencela para ulama yang notabenenya berjenggot. Said Aqil mengatakan
bahwa “Orang yang berjenggot adalah orang yang goblok, karena kecerdasannya
tertarik oleh jenggot. Semakin panjang jenggotnya semakin goblok”. Secara tidak
langsung ia telah mencela ulama, sahabat bahkan Rasulullah sallalahu ‘alaii
wasallam karena mereka semua adalah berjenggot.
Selain itu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang mengatakan dalam orasinya
bahwa surat Al Maidah adalah pembohong, sehingga jangan sampai dibohongi oleh
surat Al Maidah ayat 51. Hal ini memicu kemarahan umat Islam sehingga menggerakkan
hati umat Islam seluruh Indonesia untuk berkumpul dan melakukan Aksi Bela Islam
411 dan 212. Yang menjadikan Ahok harus merasakan manis-pahitnya jeruji besi
selama dua tahun. Adapun ketika ISIS/IS trending dimata masyarakat dunia,
media TV banyak menyuguhkan gambar bendera ISIS yang berisi kata لااله الا الله dicoret dengan tanda silang merah yang menandakan penolakan,
ketika menyiarkan berita. Secara tidak langsung hal ini merupakan tindakan penolakan
simbol Islam.
Pada kesempatan kemudian komika Joshua Suherman dan Ge Pamungkas terjerat kasus penistaan agama.
Pada acara komedi mereka, yang menyajikan materi yang berisi unsur SARA antara satire
dan menista agama. Joshua dengan sindirannya telah mencela agama Islam, dengan
menyatakan bahwa yang selalu dimenangkan di negeri ini hanyalah yang mayoritas
yaitu Islam. Dengan mimik yang jelas mengejek, menertawakan dan tidak menyukai Islam
dalam aksi kemodiannya. Sehingga membuat penonton ikut tertawa terbahak-bahak
menimpali lelucon joshua tersebut.
Kemudian aksi viral puisi “Ibu
Indonesia” oleh Diah Mutiara Sukmawati Sukarnoputri yang jelas mengandung unsur SARA.
Walaupun ia adalah seorang yang mengaku beragama Islam, namun ia telah
melakukan istihza’ dengan syari’at yang telah diturunkan oleh Allah.
Membandingkan syari’at dengan hal yang jelas tidak ada faedahnya.
Dengan kejadian dan realita
diatas, jelas menunjukkan adanya istihza’ biddin. Didalan Islam jika
seseorang baik muslim ataupun kafir yang melakukan perbuatan mencela Allah, Rasulullah,
syari’at, ulama, Islam serta kaum muslimin masuk dalam kategori istihza’
dan hukumannya adalah kafir dan adzab dari Allah ta’ala.
Model celaan ini sudah ada
ketika zaman Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam yang dilakukan oleh
para munafik. Tak heran jika di zaman yang semakin modern ini perkembangan istihza’
mulai beragam, dari mengkoalisasikan menjadi tulisan, gambar, puisi bahkan
lelucon. Bisa jadi masih banyak lagi ragam istihza’ modern yang sengaja dibuat
dan dirancang oleh orang-orang yang pada dhahirnya Islam namun ia
membenci Islam serta orang-orang kafir. Sehingga bertujuan untuk menjatuhkan dan
merendahkan Islam serendah-rendahnya.
Barang siapa yang mengolok-olok Nabi baik ia seorang muslim ataupun kafir maka
wajib ditegakkan baginya hukuman dibunuh, ini merupakan pendapat mayoritas
ulama. Ibnu Mundhir berkata, “Ulama bersepakat bahwasannya had bagi siapa saja yang
mencela Nabi ialah dibunuh”. Ini pendapat Malik dan Al Laits Ahmad dan Ishaq
dan merupakan Madhab As Syafi’i. Dan beliau berkata lagi, “Diceritakan dari Nu’man
bahwasanya orang tersebut tidak dibunuh jika ia dhimmy dimana mereka
tidak melakukan syirik besar.[4]
Ulama berpendapat, “Semua muslim bersepakat bahwasanya siapa saja yang
mencela Allah, Rasulullah, atau menyinggung apa yang telah diturunkan Allah (Al
Qur’an), atau membunuh Nabi maka ia telah kafir.[5]
Ibnu Taimiyah berkata: bahwasanya istihza’ kepada Allah dan Rasulnya
adalah kafir dan jika ia telah ridho dengan orang kafir maka ia telah
kafir. Dan jika ia telah mengolok-olok Rasulullah maka ia telah kafir dan wajib
dibunuh, dan jika ia ragu dalam kekafirannya maka ia telah kafir.
Beliau juga berkata “Bahwasanya salah satu dosa yang tidak boleh dilakukan
ialah ‘jika seseorang mengatakan bahwasanya Allah menghukumnya bukan pada
keadaanya’ atau ‘Allah mengampuninya bukan keadaannya’. Akan tetapi itu semua
atas kehendak Allah ta’ala ”.[6] Sebagaimana
firman Allah ta’ala,
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ
ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ (*)[7]
“Sesungguhnya Allah tidak
akan mengampuni siapa saja yang berbuat syirik kepada Allah dan mengampuni sesuai kehendakNya”
Jika Allah berkehendak untuk memaafkan maka Dia akan memaafkan dengan
keutamaanNya dan kemuliaanNya. Ibnu Taimiyah menetapkan bahwasanya dari
kesempurnaan iman ialah cinta kepada Allah dan tawaddu’ kepadaNya.
Sehingga Allah dan Rasul lebih mencintainya dari muslim yang lain. Maka Ibnu
Taimiyah berkata sesungguhnya cinta dan tunduk kepada Allah serta mengagungkan Allah
merupakan asal dari pokok iman maka dengannya akan menyempurnakan iman
seseorang.[8] Wallahu
a’lam bis shawab.
Referensi
Al Qur’anul
Karim
Abdul Hadi. Tahqiq At Tajrid Fi Syarhi Kitab At
Tauhid. 1999 /1491 H. (.Riyadh: Adwa’us Salaf). Juz 2.
Abdullah Bin Muhammad
Alu Syaikh. Tafsir Ibnu Katsir. 1436 H/ 2015 M. (Jakarta: Pustaka Imam
Syafi’i). Jilid 4.
Ahmad Warson. Al
Munawwir. 1997. (Surabaya: Pustaka Progresif).
Alamah
Ju’aluddin. Lisanul Arab. 2009 M/ 1430 H. (Beirut: Darul Kutub Al
Ilmiyah). Juz 1.
Ibnu Taimiyah.
As Sharimu Al Maslul. (Riyadh: Al Mu’tamin Littauzi’), Jilid 2, 1997 M/1417 H.
[2] Lisanul Arab, Alamah Ju’aluddin, Beirut: Darul Kutub Al
Ilmiyah, , 2009 M/ 1430 H, Juz 1, hlm 220.
[3] Abdullah Bin Muhammad Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir,
Jilid 4, Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 1436 H/ 2015 M, Hlm 190.
[4] As Sharimu Al Maslul ala tsatimi ar rasul, Ibnu Taimiyah, (Riyadh: al mu’tamin littauzi’), jilid 2, 1997 m/1417 h, hlm. 13.
[6] Tahqiq At Tajrid Fi Syarhi Kitab At
Tauhid, Abdul Hadi, 1999 M/1491 H, Riyadh: Adwa’us
Salaf, Juz 1, hlm: 61.
[8]Tahqiq At Tajrid Fi Syarhi Kitab At Tauhid, Abdul Hadi, 1999 M/1491 H, Riyadh: Adwa’us Salaf, Juz 1,
hlm: 61.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar