Selasa, 26 Maret 2019

Fenomena Istihza’ Modern

Fenomena Istihza’ Modern
Oleh: Uswatun Hasanah

Dewasa ini dimana zaman yang semakin berkembang, kaum kafir semakin kreatif dalam mencari cara untuk menjatuhkan Islam. Fenomena mencela, memperolok dan menghina semakin merebak didunia modern seperti saat ini. Dengan berbagai model cara yang bermacam-macam yang semakin bervariasi, sehingga perlu adanya ketelitian dan kejelian dalam menyikapinya.
Menghina merupakan sebuah perbuatan yang tercela, bagaimana pun bertuknya, kepada siapapun dan kapanpun itu. Karena menghina merupakan sebuah kedhaliman yang nyata, baik kepada sesama hamba. Sebagai klimaksnya merupakan perbuatan yang menjerumuskan kepada kekafiran, bahkan menyebabkan seseorang dikenai hukuman dengan dibunuh. Tanpa harus di minta untuk bertaubat dan meminta maaf, jika penghinaan ditujukan kepada Allah ta’ala dan RasulNya.
Para ulama memasukkan istihza’ kepada Allah dan Rasulnya dalam perkara-perkara yang dapat membatalkan keimanan dan keIslaman seseorang. Karena begitu beratnya konsekwensi pelanggaran istihza’ dalam pandangan syar’i maupun dalam pandangan manusia. Dalam pandangan manusia saja dari kasus yang terjadi menghina dapat menimbulkan pertumpahan darah apalagi dalam pandangan syar’i. Oleh karena itu Islam telah memperingatkan kita untuk senantiasa menjaga lisan kita dari segala bentuk ucapan yang dapat menyebabkan kita keluar dari keimanan. Sehingga kita bisa lebih berhati-hati dalam berkata dan berperilaku.
Istihza’ berasal dari kata استهزأ  yang bermakna mengejek, memperolok-olok, dan mencemooh.[1] سخر  (sakhira) yang berarti mengejek, mencemooh, memperolok, menertawakan dan mencibir.[2] Sedangkan dalil dasar adanya istihza’ ialah firman Allah ta’ala,
يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَن تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُم بَمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِءُوا إِنَّ اللهَ مُخْرِجُ مَاتَحْذَرُونَ
“Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan RasulNya)”. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti.” [At-Taubah/9 : 64].
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya, kamu selalu berolok-olok?”. [At Taubah/9 : 65].
Maka turunlah firman Allah subhanahu wata’ala,
أبا لله و ءاياته و رسوله كنتم تستهزءون
“Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?”. Sesungguhnya kedua kakinya tersandung-sandung batu, sedangkan Rasulullah sallAllahu ‘alaihi was sallam tidak menoleh kepadanya, dan ia bergantung di tali pelana Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa sallam.
لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
“Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema’afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” [At- Taubah/9 : 66].
وَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنَّهُمْ لَمِنْكُمْ وَمَا هُمْ مِنْكُمْ وَلَكِنَّهُمْ قَوْمٌ يَفْرَقُونَ
“Dan mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya mereka termasuk golongan kalian, padahal mereka bukanlah dari golongan kalian, tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat takut (kepada kalian)” [At-Taubah/9: 56].
لَوْ يَجِدُونَ مَلْجَأً أَوْ مَغَارَاتٍ أَوْ مُدَّخَلا لَوَلَّوْا إِلَيْهِ وَهُمْ يَجْمَحُونَ
Jikalau mereka memperoleh tempat perlindungan atau gua-gua atau lubang-lubang (dalam tanah), niscaya mereka pergi kepadanya dengan secepat-cepatnya [At-Taubah/9: 57].
Allah ta’ala menggambarkan kepada RasulNya tentang ketakutan yang mencekam hati orang-orang munafik, bahwa وَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنَّهُمْ لَمِنْكُمْmereka bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya mereka termasuk golongan mu”. Dengan sumpah yang pasti, وَمَا هُمْ مِنْكُمْ padahal mereka bukanlah dari golongan mu”. Yakni, pada saat yang sama. Dan Allah berfirman: وَلَكِنَّهُمْ قَوْمٌ يَفْرَقُونَ “akan tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat takut.” Hal inilah yang membawa mereka untuk bersumpah. لَوْ يَجِدُونَ مَلْجَأًJikalau mereka memperoleh tempat kembali.” Yaitu benteng berlindung dan temapt bersembunyi. أَوْ مَغَارَاتٍatau gua-gua”. Yaitu gua-gua yang terdapat di bukit-bukit. أَوْ مُدَّخَلا  “atau lubang-lubang”. Yakni lubang di dalam tanah (bungker) dan terowongan.

Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, dan Qatadah. لَوَلَّوْا إِلَيْهِ وَهُمْ يَجْمَحُونَniscaya mereka pergi kepadanya dengan secepat-cepatnya”. Maksudnya, mereka pasti akan bersegera pergi darimu, karena sesungguhnya mereka mau bergaul denganmu hanyalah karena terpaksa, bukan karena senang. Bahkan hati mereka berharap seandainya saja mereka tidak bergabung denganmu. Oleh karena itulah mereka selalu berada dalam kebimbangan dan kesedihan karena Islam dan kaum muslimin selalu memperoleh kemenangan dan kemuliaan. Setiap kali kaum muslimin mendapatkan kegembiraan, pastilah mereka bersedih.[3]
Sebagaimana fenomena zaman now, kita akan melihat banyak kejadian-kejadian kotroversi yang membuat umat Islam Indonesia geram menyikapi permasalahan yang dibuat musuh-musuh Islam. Mulai Said Aqil Shiraj yang mengatakan bahwa jenggot dapat mengurangi kecerdasan intelligence quotient (IQ). Dalam pidatonya Said Aqil menyinggung sunnah Rasulullah, syariat Islam dan mencela para ulama yang notabenenya berjenggot. Said Aqil mengatakan bahwa “Orang yang berjenggot adalah orang yang goblok, karena kecerdasannya tertarik oleh jenggot. Semakin panjang jenggotnya semakin goblok”. Secara tidak langsung ia telah mencela ulama, sahabat bahkan Rasulullah sallalahu ‘alaii wasallam karena mereka semua adalah berjenggot.
Selain itu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang mengatakan dalam orasinya bahwa surat Al Maidah adalah pembohong, sehingga jangan sampai dibohongi oleh surat Al Maidah ayat 51. Hal ini memicu kemarahan umat Islam sehingga menggerakkan hati umat Islam seluruh Indonesia untuk berkumpul dan melakukan Aksi Bela Islam 411 dan 212. Yang menjadikan Ahok harus merasakan manis-pahitnya jeruji besi selama dua tahun. Adapun ketika ISIS/IS trending dimata masyarakat dunia, media TV banyak menyuguhkan gambar bendera ISIS yang berisi kata لااله الا الله dicoret dengan tanda silang merah yang menandakan penolakan, ketika menyiarkan berita. Secara tidak langsung hal ini merupakan tindakan penolakan simbol Islam.
Pada kesempatan kemudian komika Joshua Suherman dan Ge Pamungkas terjerat kasus penistaan agama. Pada acara komedi mereka, yang menyajikan materi yang berisi unsur SARA antara satire dan menista agama. Joshua dengan sindirannya telah mencela agama Islam, dengan menyatakan bahwa yang selalu dimenangkan di negeri ini hanyalah yang mayoritas yaitu Islam. Dengan mimik yang jelas mengejek, menertawakan dan tidak menyukai Islam dalam aksi kemodiannya. Sehingga membuat penonton ikut tertawa terbahak-bahak menimpali lelucon joshua tersebut.
 Kemudian aksi viral puisi “Ibu Indonesia” oleh Diah Mutiara Sukmawati Sukarnoputri yang jelas mengandung unsur SARA. Walaupun ia adalah seorang yang mengaku beragama Islam, namun ia telah melakukan istihza’ dengan syari’at yang telah diturunkan oleh Allah. Membandingkan syari’at dengan hal yang jelas tidak ada faedahnya.
Dengan kejadian dan realita diatas, jelas menunjukkan adanya istihza’ biddin. Didalan Islam jika seseorang baik muslim ataupun kafir yang melakukan perbuatan mencela Allah, Rasulullah, syari’at, ulama, Islam serta kaum muslimin masuk dalam kategori istihza’ dan hukumannya adalah kafir dan adzab dari Allah ta’ala.
Model celaan ini sudah ada ketika zaman Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam yang dilakukan oleh para munafik. Tak heran jika di zaman yang semakin modern ini perkembangan istihza’ mulai beragam, dari mengkoalisasikan menjadi tulisan, gambar, puisi bahkan lelucon. Bisa jadi masih banyak lagi ragam istihza’ modern yang sengaja dibuat dan dirancang oleh orang-orang yang pada dhahirnya Islam namun ia membenci Islam serta orang-orang kafir. Sehingga bertujuan untuk menjatuhkan dan merendahkan Islam serendah-rendahnya.
Barang siapa yang mengolok-olok Nabi baik ia seorang muslim ataupun kafir maka wajib ditegakkan baginya hukuman dibunuh, ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Ibnu Mundhir berkata, “Ulama bersepakat bahwasannya had bagi siapa saja yang mencela Nabi ialah dibunuh”. Ini pendapat Malik dan Al Laits Ahmad dan Ishaq dan merupakan Madhab As Syafi’i. Dan beliau berkata lagi, “Diceritakan dari Nu’man bahwasanya orang tersebut tidak dibunuh jika ia dhimmy dimana mereka tidak melakukan syirik besar.[4]
Ulama berpendapat, “Semua muslim bersepakat bahwasanya siapa saja yang mencela Allah, Rasulullah, atau menyinggung apa yang telah diturunkan Allah (Al Qur’an), atau membunuh Nabi maka ia telah kafir.[5]
Ibnu Taimiyah berkata: bahwasanya istihza’ kepada Allah dan Rasulnya adalah kafir dan jika ia telah ridho dengan orang kafir maka ia telah kafir. Dan jika ia telah mengolok-olok Rasulullah maka ia telah kafir dan wajib dibunuh, dan jika ia ragu dalam kekafirannya maka ia telah kafir.
Beliau juga berkata “Bahwasanya salah satu dosa yang tidak boleh dilakukan ialah ‘jika seseorang mengatakan bahwasanya Allah menghukumnya bukan pada keadaanya’ atau ‘Allah mengampuninya bukan keadaannya’. Akan tetapi itu semua atas kehendak Allah ta’ala ”.[6] Sebagaimana firman Allah ta’ala,
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ (*)[7]
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni siapa saja yang berbuat syirik kepada Allah  dan mengampuni sesuai kehendakNya”
Jika Allah berkehendak untuk memaafkan maka Dia akan memaafkan dengan keutamaanNya dan kemuliaanNya. Ibnu Taimiyah menetapkan bahwasanya dari kesempurnaan iman ialah cinta kepada Allah dan tawaddu’ kepadaNya. Sehingga Allah dan Rasul lebih mencintainya dari muslim yang lain. Maka Ibnu Taimiyah berkata sesungguhnya cinta dan tunduk kepada Allah serta mengagungkan Allah merupakan asal dari pokok iman maka dengannya akan menyempurnakan iman seseorang.[8] Wallahu a’lam bis shawab.
Referensi
Al Qur’anul Karim
Abdul Hadi. Tahqiq At Tajrid Fi Syarhi Kitab At Tauhid. 1999 /1491 H. (.Riyadh: Adwa’us Salaf). Juz 2.
Abdullah Bin Muhammad Alu Syaikh. Tafsir Ibnu Katsir. 1436 H/ 2015 M. (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i). Jilid 4.
Ahmad Warson. Al Munawwir. 1997. (Surabaya: Pustaka Progresif).
Alamah Ju’aluddin. Lisanul Arab. 2009 M/ 1430 H. (Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyah). Juz 1.
Ibnu Taimiyah. As Sharimu Al Maslul. (Riyadh: Al Mu’tamin Littauzi’),  Jilid 2, 1997 M/1417 H.



[1] Al Munawwir, Ahmad Warson, 1997, Surabaya: Penerbit Pustaka Progresif, hlm: 1503.
[2] Lisanul Arab, Alamah Ju’aluddin, Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyah, , 2009 M/ 1430 H, Juz 1, hlm 220.
[3] Abdullah Bin Muhammad Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4, Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 1436 H/ 2015 M, Hlm 190.
[4] As Sharimu Al Maslul ala tsatimi ar rasul, Ibnu Taimiyah, (Riyadh: al mu’tamin littauzi’),  jilid 2, 1997 m/1417 h, hlm. 13.
[5] Ibid, hlm. 15.
[6] Tahqiq At Tajrid Fi Syarhi Kitab At Tauhid, Abdul Hadi, 1999 M/1491 H, Riyadh: Adwa’us Salaf, Juz 1, hlm: 61.
[7] Q.S.An Nisa Ayat 48
[8]Tahqiq At Tajrid Fi Syarhi Kitab At Tauhid, Abdul Hadi, 1999 M/1491 H, Riyadh: Adwa’us Salaf, Juz 1, hlm: 61.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar