Selasa, 26 Maret 2019

HIBAH




HIBAH

Makalah Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Mawaris
Dosen Pengampu: Usth.A’yun
Disusun Oleh:
Annisa Nur Hadiyah
Annisa Nurun Najiyah
Iis Sholekah
Layla Zulfa
Nidaul Hasanah
Uswatun Hasanah
AL-MA'HAD AL-'ALY LID DIRASAH AL-ISLAMIYYAH
HIDAYATURRAHMAN
SRAGEN
2016 – 2017

       I.            PENGERTIAN HIBAH
Pengertian
Hibah adalah pemberian ketika masih dalam keadaan hidup. Athiyah adalah pemberian seseorang yang dilakukan ketika dia dalam keadaan sakit adan menjelang kematian.
Adapun dalam istilah fiqih adalah akad pemberian kepemilikan kepada orang lain, tanpa adanya ganti yang dilakukan secara suka rela ketika pemberi masih hidup.
    II.            DALIL HIBAH

فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا
“Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa : 4)
وَءَاتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ
“Dan memberiakan harta yang dicintai kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir).”  (QS. Al-Baqarah : 177)
تَهَادُوْا تَحَبُوا وَتَصَافَحُواْ يَذْهَبِ الْغِلُّ عَنْكُمْ  
“Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai, dan saling bersalamanlah kalian niscaya perasaan dengki akan hilang dari kalian”
الْعَائِدُ فِيْ هِبَتِهِ كَالْعَائِدِ فِيْ قَيْئِهِ
“Orang yang menarik kembali pemberiannya seperti orang yang menelan kembali muntahnya.”

 III.            RUKUN HIBAH
Menurut para ulama dalam madzhab hanafi, rukun hibah adalah ijab dan qabul berdasarkan dalil qiyas. Karena ia adalah akad seperi jual beli. Dalam madzhab hanafi yang menyatakan bahwa hibah dapat berlangsung hanya dengan adanya ijab bagi pemberi, namun dengan adanya ijab harus ada qabul bagi yang diberi. Karena hibah merupakan akad sumbangan sukarela, sehingga ia berlangsung dengan adanya pernyataan dari penyumbang. Seperti pengakuan dan wasiat. Namun orang yang diberi tidak bisa memilikinya kecuali dengan qabul darinyadan pengambilan terhadap barang (al- qabdh).
Adapun rukun hibah menuru jumhur ulama ada empat:
1.      Orang yang memberi (al- wahib)
2.      Orang yang diberi ( al- mauhub lahu)
3.      Benda yang diberi (al-mauhub)
4.      Shigat
Adapun pemberi (waahib), maka dia adalah pemilik kewenangan untuk melakukan tindakan Sterhadap urusannya. Jika ada orang sakit yang menghibahkan sesuatu kepada orang lain kemusian setelah itu dia mati, maka menurut jumhur ulama hibahnya itu tidak masuk dalam sepertiga warisannya, adapun orang yang diberi ( al- mauhub lah) maka bisa siapa saja.
Adapun sesuatu yang diberi (al-mauhuub) dalah semuanya yang dimiliki oleh pemberi.
Adapun shigat adalah semua yang bisa berimplikasi pada ijab dan qabul, baik berupa perkataan maupun perbuatan seperti lafadz hadiah, hibah, pemberian dan sejenisnya.
Ijab bisa berbentuk sharikh misalnya, “saya menghibahkan bebda ini kepadamu” atau dengan lafadz yang umum digunakan untuk makna sharikh, yang di ucapkan dengan niat hibah. Ini adalah shidah ijab yang diucapkan secara mutlaq. Adapun jika disertai dengan suatu batasan, maka batasan itu bisa berupa waktu, syarat, atau manfaat, contoh ijab yang disertai batasan waktu adalah pemberian yang berbentuk ‘umra misalnya “ saya memeberikan rumah ini kepadamu selama saya hidup, atau selama kamu hidup”. Kemudian jika saya meninggal dunia maka barang tersebut menjadi milik ahli warisku”.


Pemberian ‘umra ini adalah hibah yang berlaku untuk orang yang diberi sepanjang hidupnya dan untuk ahli waris setelah ia meninggal dunia. Hal ini karena sahnya pemindahan kepemilikan, sedangkan pembatas dengan waktu tidak dibenarkan, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
“Tetap peganglah harta kalian, janganlah kalian memberikannya secara ‘umra, karena sesungguhnya orang yang memberikan sesuatu kepada orang lain secara ‘umra, maka ia menjadikan milik orang yang diberi itu”.
Disamping itu hibah tidaklah batal dengan adanya syarat yang bathil, berbeda denga akad-akad tikar- menukar harta, seperti jual beli. Hal ini karena adanya larangan tentang jual beli dengan syarat.
 IV.            SYARAT-SYARAT HIBAH
A.    Syarat orang yang memberi hibah:
a.       Hendaknya baligh, berakal
b.      Pemilik barang[1]
c.       Bisa menjaga harta
B.     Syarat orang yang menerima hibah:
1.      Ada barangnya ketika memberikannya, tidak terlaksanya jika tidak ada barangnya. Karena konsekuensi hibah adalah kepemilikan saat ini, jika tidak ada maka batal. Misal: menghibahkan kurma jika berbuah pada tahun ini. Mengibahkan apa yang didalam perut kambing. Ini disepakati oleh Jumhur. Menurut Malikiyah membolehkan hibah yang tidak sah pada jual beli seperti, barang yang di ghasab, buah yang belum terlihat bagusnya.[2]
2.      Hendaknya hartanya bisa dimanfaatkan secara syar’i. Khamr, babi, darah, bangkai tidak boleh karena bukan harta yang bisa dimanfaatkan secara syar’i.
3.      Barang yang dihibahkan milik penghibah
4.      Barang dimiliki sendiri, tidak sah menghibahkan barang yang bukan miliknya sendiri seperti mubahaat (sesuatu yang yang boleh dimiliki oleh setiap orang secara umum seperti hewan dipadang sahara dan yang di laut yang tidak ada kepemilikan, rumput, dll, hibahnya tidak sah sebelum ada kepemilikan[3]
5.      Bentuknya bagian bukan yang masih umum (tidak bisa diserahkan) yang harus dibagi dulu seperti rumah yang besar, ini menurut Hanafiyah. Jumhur membolehkan sesuatu yang masih umum karena bisa diserahkan.
6.      Menyerahkan barangnya. Sebagaimana riwayat Ahmad dan Hakim didalam shahihnya, bahwasanya Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi wasallam memberikan hadiah kepada orang Najasyah kemudian beliau bersabda kepada Ummi Salamah, “ sungguh aku tidak melihat orang Najasyah tersebut, ternyata dia sudah meninggal dunia dan aku tidak melihat hadiah itu kecuali akan dikembalikan, jika mau dikembalikan kepadaku maka itu untukmu, demikian juga.”[4]Ini termasuk syarat luzum menurut Hanafiyah dan Syafi’iyyah, karena Abu Bakar menolak apa yang dihadiahkan anaknya ‘Aisyah sebelum dibagi.
Menurut Hanabilah ini termasuk syarat sah dalam sesuatu yang ditimbang dan ditakar, shahabat bersepakat atas itu. adapun selain yang ditimbang dan ditakar:
7.      Barang tidak bisa diserahkan kecuali dengan izin penghibah. Jika penerima hibah atau penghibah meninggal dunia sebelum penyerahan maka hibahnya belum batal dan yang menerimanya adalah ahli warisnya. Apabila sudah diberikan kepda penerima maka tidak boleh diambil kembali sebagaimana sabda Nabi: “Barangsiapa yang mengambil hibahnya kembali maka dia seperti mengambil lagi muntahannya.” (HR. Khamsah)[5] kecuali diambil dari si anak atau keturunan yang dibawahnya.[6]
Dalam kitab Minhajul Muslim, syarat hibah terbagi menjadi dua bagian:
1.      Ijab, yaitu pernyataan pemberi hibah kepada orang yang ia kehendaki tentang sesuatu dan ia beri sesuatu dengan senang hati.
2.      Qabul, yaitu penerimaan oleh penerima hibah dengan berkata, "Aku terima apa yang engkau hibahkan kepadaku," atau ia menyodorkan tangannya untuk menerimanya, karena jika orang Muslim memberi sesuatu atau menghibahkan sesuatu kepada saudara seagamanya, namun belum diterima oleh penerimanya, kemudian penghibah meninggal dunia, maka sesuatu atau hibah tersebut menjadi hak ahli warisnya dan penerima hibah tidak mempunyai hak terhadapnya karena hibah seperti itu tidak memenuhi syarat yaitu tidak adanya qabul, karena jika ia telah menerimanya, pasti ia menggenggamnya dengan jenis penggenggaman apa pun.[7]
Berbeda pendapat dengan para ulama Madzhab Hambali didalam kitab Fiqih Islam Wa Adillatuhu, menyebutkan sebelas syarat dalam hibah. Kesebelas syarat itu adalah: hibah itu berasal dari orang yang boleh membelanjakan harta, pemberi tidak paksa, pemeberi serius(tidak main-main) dalam pemberiannya itu, benda yang diberikan adalah harta benda yang sah untuk dijual, tanpa imbalan, diberikan kepada orang yang sah untuk memilikinya, disertai dengan pengambilan barang oleh orang yang diberi atau walinya sebelum digunakan untuk hal lain, di sertai dengan adanya pemberian langsung dan tidak adanya pembatasan waktu.
Orang yang boleh membelanjakan harta adalah orang yang merdeka, mukallaf, dan bisa mengatur penggunaan harta.
Adapun syarat benda yang diberikan adalah berupa harta benda, maka itu adalah untuk mengeluarkan kekhususan bentuk harta.[8]
Didalam kitab Fiqih Islam Wa Adillatuhu, di jelaskan dengan terperinci syarat-syarat sighah, syarat pemberi hibah, dan syarat sesuatu yang dihibakan.
A.    Syarat-Syarat Sighah
Syarat-syarat sighah, menurut para ulama' Madzhab Syafi'i, adalah sebagai berikut:
1.      Bersambungnya antara qabul dan ijab tanpa adanya pemisah yang secara syara' dianggap berpengaruh terhadap keabsahan ijab-qabul tesebut.
2.      Tidak adanya pengaitan dengan sayarat. Karena hibah adalah pemberian kepemilikan, dan pemberian kepemilikan tidak bisa dikaitkan dengan sesuatu yang kemungkinan akan terjadi atau kemungkinan tidak akan terjadi.
3.      Tidak ada pengaitan dengan waktu, seperti satu bulan atau satu tahun, karena hibah merupakan pemberian kepemilikan terhadap benda secara mutlak yang terus-menerus, seperti jual-beli.
B.     Syarat-Syarat Pemberi Hibah
Disyaratkan bagi pemberi hibah adalah orang yang memiliki kewenangan untuk memberi sumbangan, yaitu berakal, baligh, dan bisa menjaga harta. Dan ini adalah syarat berlakunya akad pemberian.
C.     Syarat-Syarat Sesuatu Yang Dihibahkan
1.      Benda tersebut ada ketika dihibahkan.
Tidak sah menghibahkan sesuatu yang tidak ada ketika akad hibah, seperti menghibahkan buah kurmanya yang akan muncul pada ini. Adapun menghibahkan pohon kurma yang belum dicabut dan buah kurma yang masih di pohon, maka itu seperti hibah benda-benda yang tidak diketahui kadarnya yang tidak sah.
Sedangkan ketika benda yang dihibahkan itu belum dipisahkan dari tempat asalnya, maka hibah itu belum terlaksana karena adanya penghalang. Oleh karena itu, jika dikeluarkan dari kepemilikan pemilik aslinya, berarti penghalangnya hilang. Dengan ini maka hibah terhadapnya di bolehkan dan akadnya pun sah.
Para ulama Madzhab Syafi'i dan Madzhab Hanafi sepakat dengan syarat yang ditetapkan oleh para ulama' Madzhab Hanafi. Mereka mengatakan bahwa semua yang sah dijual maka sah untuk dihibahkan.
Sedangkan para ulama Madzhab Maliki mengatakan bahwa hibah tetap sah pada benda yang tidak sah untuk dijual. Seperti budak yang melarikan diri, unta yang lepas, benda yang tidak diketahui ciri-cirinya, dan benda yang diambil orang lain tanpa izin(di ghasab).
2.      Benda tersebut adalah benda yang bernilai.
Tidak sah menghibahkan sesuatu yang pada dasarnya bukan harta benda, seperti orang merdeka, bangkai, darah, binatang buruan, dan yang lainnya.
3.        Benda tersebut dapat dimiliki secara perorangan.
Tidak sah hibah terhadap benda milik umum.
4.      Benda tersebut milik pemberi.
Tidak sah hibah harta benda milik orang lain tanpa seizin pemiliknya.
5.      Benda tersebut ditentukan.
Menurut para ulama Madzhab Hanafi, tidak dibolehkan hibatul musyaa', yaitu penghibahan sebagian dari suatu benda yang bisa dibagi tanpa ditentukan posisi bagian itu pada benda tersebut, seperti sebagian dari tempat tinggal dan rumah besar.
Namun jika bagian yang diberikan itu ditentukan, lalu diserahkan kepada orang yang diberi maka hibah itu sah.
    V.            HAL-HAL YANG MENGHALANGI PENGAMBILAN HIBAH
Hal-hal yang menghalangi pengambilan kembali hibah menurut hanafiyah dalam 7 hal:
1.      Adanya Imbalan materi
Jika orang yang diberi hibah menawarkan imbalan atau ganti kepada pemberi atas pemberiannya dan pemberi menerimanya, maka pemberi tidak boleh mengambil lagi hibahnya itu. Karena rasulullah pernah bersabda: “pemberi lebih berhak terhadap pemberiannya sebelum diberi balasan” Maksudnya adalah belum diberi imbalan untuk hibah nya itu, dan inilah yang disebut hibah ats-tsawab (pemberian dengan imbalan atau ganti). Imbalan terhadap pemberian ada dua macam yaitu yang ditetapkan dalam akad dan yang tidak ditetapkan dalam akad.
2.      Adanya imbalan yang bersifat maknawi
imbalan yang bersifat maknawi Ada tiga macam:
a.       Imbalan dari Allah (pahala).
b.      hubungan kekerabatan dengan dhawil arham.
c.       Hubungan suami istri
3.      Adanya tambahan yang menyatu dengan barang yang dihibahkan, baik itu perbuatan orang yang diberi maupun karena orang lain.
Misalnya benda yang dihibahkan adalah rumah, lalu orang yang diberi membangun bangunan lagi didalamnya. Namun apabila tambahan terpisah, maka ia tidak menghalagi pemberi untuk mengambil kembali perberiannya. Begitu pula adanya pengurangan dari barang yang diberikan juga tidak menghalagi.
4.      Barang yang diberikan keluar dari kepemilikan orang yang diberi.
Hal ini berlaku dalam sebab apapun, seperti karena dijual, diberikan kepada orang lain dan semisalnya. Semua ini mengakibatkan perbedaan kepemilikan dan perbedaan kepemilikan seperti perbedaan dua benda.
5.      Meninggalkan salah satu pihak dalam akad pemberian.
Jika orang yang diberi meninggal dunia maka pemberi tidak bisa mengambil kembali pemberiannya. Karena pemberian tersebut berpindak kepemilikannya kepada ahli waris yang diberi. Begitu pula sebaliknya.
6.      Rusak, hilang atau dikonsumsinya barang yang diberikan.
Pemberi tidak dapat mengambil kembali hibah yang telah Rusak atau hilang. Dia juga tidak dapat mengambil kembali dengan bentuk nilai. Karena nilai tersebut bukanlah yang diberikan disebabkan tidak adanya akad terhadapnya. Disamping itu penerimaan terhadap hibah tidaklah dijamin dengan ganti.[9]
Apabila seorang menghibahkan sesuatu selain orang tua kepada anaknya atau sebaliknya, dan dia telah menerimanya tidak ada hak untuk mengambilnya kembali.
 VI.            HUKUM HIBAH
Hukum hibbah dapat dirincikan menjadi tiga:
1.      Mandub
Hukum hibbah pada asalnya adalah mandub kepada sesama muslim atau bahkan kepada anak sendiri. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah
تَهَادُوْا تَحَابُوْا
“Saling berhadiahlah (memberi) maka kalian saling menyayangi.”(HR. Al-Baihaqi)
Maka dengan saling memberi kita dapat menambah kasih sayang diantara kita dalam bersosial.
2.      Haram
Hukum hibbah akan menjadi haram apabila tujuan hibbah atau pemberian itu untuk suatu kemaksiatan. Begitu pula apabila saling memberi dan menolong dalam kedhaliman. Sebagaimana firman Allah:
وَلَاتَعَاوَنُوْا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan janganlah tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2)
3.      Makruh
Jika melaksanakan hibbah lantaran ingin mengharap ganjaran dan pujian dari oranglain, maka hukum hibbah berubah menjadi makruh. Karena hibbah yang ia lakukan semata-mata tidak mengharapkan ridha Allah melainkan mengharap balasan dari oranglain.
Sedangkan sifat hukumnya berbeda-beda. Menurut ulama’ madzhab Hanafiyah adalah bahwa penetapan kepemilikan kepada penerima bukan suatu keharusan, akan tetapi sah apabila barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya semula. Adapun penghapusan hibah menurut ulama’ Hanafiyah pun tergantung pada pemberi hibah. Berdasarkan sabda Rasulullah :
الْوَاهِبُ أَحَقُّ بِهِبَتِهِ ماَلَمْ بُثَبْ مِنْهاَ(رواه الحاكم)
“Pemberi hibah lebih berhak dengan barang yang dihibahkan apabila belum sempurna.”
Pendapat ulama’ Malikiyah adalah penetapan kepemilikan barang kepada penerima hibah setelah adanya akad dan itu merupakan suatu kelaziman (keharusan) disertai dengan penyerahan. Maka tidak halal dikembalikan setelah akad tersebut, namun terdapat pengecualian bagi ayah yang memberi hibah kepada anaknya. Seorang ayah sah menarik kembali barang yang telah dihibahkan kepada anaknya baik besar maupun kecil.
Pendapat yang selanjutnya hampir sama dengan pendapat Malikiyah, yaitu pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah adalah seorang pemberi hibah tidak diperbolehkan menarik kembali barang yang telah dihibahkan kecuali penarikan hibah seorang ayah kepada anaknya. Hal ini disandarkan melalui sabda Rasulullah :
الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْعَائِدِ قَيْئِهِ
“Seorang yang menarik kembali barang yang telah dihibahkannya bagaikan menarik kembali muntahan yang telah dikeluarkan.”
Hal ini tidak berlaku bagi ayah yang menarik kembali barang yang telah dihibahkan kepada anaknya, karena ini merupakan pengecualian.

VII.            AYAH YANG MENGAMBIL KEMBALI HIBAH YANG DIBERIKAN KEPADA ANAKNYA



REFERENSI
1.      Minhajul Muslim(Ensiklopedi Muslim).
2.      Dr. Musthafa al-Khin, Dr. Musthafa al-Bugha dan ‘Ali asy-Syarbaji, Al-Fikih al-Manhaji.
3.      Item-al-wajiz.
4.      Al-fikih al-manhaji.
5.      Matan ghayah wat taqrib.
6.      Fathul Qarib al-Mujib.
7.      Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim.
8.      Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu.





[1] Dr. Musthafa al-Khin, Dr. Musthafa al-Bugha dan ‘Ali asy-Syarbaji, Al-Fikih al-Manhaji, (Dar al-Qalam, 2008), hlm. 108, jld. 3
[2] Item-al-wajiz, hlm. 170-172
[3] Yang biru—Al-fikih al-manhaji, hlm.109-110
[4] Matan ghayah wat taqrib. Hlm, 191
[5] Matan ghayah wat taqrib, hlm. 191
[6] Merah- Fathul Qarib al-Mujib,hlm. 205
[7] Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim, cet 1, (Beirut: Darul Fikr, 1429 H), hlm.330
[8]Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, cet 1, (), hlm.683
[9] Fiqih islam wa adillatuhu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar