HIBAH
Makalah Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Mawaris
Dosen Pengampu: Usth.A’yun
Disusun Oleh:
Annisa Nur Hadiyah
Annisa Nurun Najiyah
Iis Sholekah
Layla Zulfa
Nidaul Hasanah
Uswatun Hasanah
AL-MA'HAD AL-'ALY LID DIRASAH AL-ISLAMIYYAH
HIDAYATURRAHMAN
SRAGEN
2016 – 2017
I.
PENGERTIAN HIBAH
Pengertian
Hibah adalah pemberian ketika masih dalam keadaan hidup. Athiyah
adalah pemberian seseorang yang dilakukan ketika dia dalam keadaan sakit adan
menjelang kematian.
Adapun dalam istilah fiqih adalah akad pemberian kepemilikan kepada
orang lain, tanpa adanya ganti yang dilakukan secara suka rela ketika pemberi
masih hidup.
II.
DALIL HIBAH
فَإِن طِبْنَ
لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا
“Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa : 4)
وَءَاتَى
الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ
“Dan memberiakan harta yang dicintai kepada kerabat, anak yatim,
orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir).” (QS. Al-Baqarah : 177)
تَهَادُوْا
تَحَبُوا وَتَصَافَحُواْ يَذْهَبِ الْغِلُّ عَنْكُمْ
“Saling
memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai, dan saling
bersalamanlah kalian niscaya perasaan dengki akan hilang dari kalian”
الْعَائِدُ فِيْ
هِبَتِهِ كَالْعَائِدِ فِيْ قَيْئِهِ
“Orang
yang menarik kembali pemberiannya seperti orang yang menelan kembali muntahnya.”
III.
RUKUN HIBAH
Menurut para
ulama dalam madzhab hanafi, rukun hibah adalah ijab dan qabul berdasarkan dalil
qiyas. Karena ia adalah akad seperi jual beli. Dalam madzhab hanafi yang
menyatakan bahwa hibah dapat berlangsung hanya dengan adanya ijab bagi pemberi,
namun dengan adanya ijab harus ada qabul bagi yang diberi. Karena hibah
merupakan akad sumbangan sukarela, sehingga ia berlangsung dengan adanya
pernyataan dari penyumbang. Seperti pengakuan dan wasiat. Namun orang yang
diberi tidak bisa memilikinya kecuali dengan qabul darinyadan pengambilan
terhadap barang (al- qabdh).
Adapun rukun hibah menuru jumhur ulama ada
empat:
1. Orang yang
memberi (al- wahib)
2. Orang yang
diberi ( al- mauhub lahu)
3. Benda yang
diberi (al-mauhub)
4. Shigat
Adapun pemberi (waahib), maka dia
adalah pemilik kewenangan untuk melakukan tindakan Sterhadap urusannya. Jika
ada orang sakit yang menghibahkan sesuatu kepada orang lain kemusian setelah
itu dia mati, maka menurut jumhur ulama hibahnya itu tidak masuk dalam
sepertiga warisannya, adapun orang yang diberi ( al- mauhub lah) maka
bisa siapa saja.
Adapun sesuatu yang diberi (al-mauhuub)
dalah semuanya yang dimiliki oleh pemberi.
Adapun shigat adalah semua yang bisa
berimplikasi pada ijab dan qabul, baik berupa perkataan maupun perbuatan
seperti lafadz hadiah, hibah, pemberian dan sejenisnya.
Ijab bisa berbentuk sharikh misalnya, “saya
menghibahkan bebda ini kepadamu” atau dengan lafadz yang umum digunakan untuk
makna sharikh, yang di ucapkan dengan niat hibah. Ini adalah shidah ijab yang
diucapkan secara mutlaq. Adapun jika disertai dengan suatu batasan, maka
batasan itu bisa berupa waktu, syarat, atau manfaat, contoh ijab yang disertai
batasan waktu adalah pemberian yang berbentuk ‘umra misalnya “ saya memeberikan
rumah ini kepadamu selama saya hidup, atau selama kamu hidup”. Kemudian jika
saya meninggal dunia maka barang tersebut menjadi milik ahli warisku”.
Pemberian ‘umra ini adalah hibah yang berlaku
untuk orang yang diberi sepanjang hidupnya dan untuk ahli waris setelah ia
meninggal dunia. Hal ini karena sahnya pemindahan kepemilikan, sedangkan
pembatas dengan waktu tidak dibenarkan, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
SAW:
“Tetap peganglah harta kalian, janganlah
kalian memberikannya secara ‘umra, karena sesungguhnya orang yang memberikan
sesuatu kepada orang lain secara ‘umra, maka ia menjadikan milik orang yang
diberi itu”.
Disamping itu hibah tidaklah batal dengan
adanya syarat yang bathil, berbeda denga akad-akad tikar- menukar harta,
seperti jual beli. Hal ini karena adanya larangan tentang jual beli dengan
syarat.
IV.
SYARAT-SYARAT HIBAH
A. Syarat orang
yang memberi hibah:
a. Hendaknya
baligh, berakal
c. Bisa menjaga
harta
B. Syarat orang
yang menerima hibah:
1. Ada barangnya
ketika memberikannya, tidak terlaksanya jika tidak ada barangnya. Karena
konsekuensi hibah adalah kepemilikan saat ini, jika tidak ada maka batal.
Misal: menghibahkan kurma jika berbuah pada tahun ini. Mengibahkan apa yang
didalam perut kambing. Ini disepakati oleh Jumhur. Menurut Malikiyah
membolehkan hibah yang tidak sah pada jual beli seperti, barang yang di ghasab,
buah yang belum terlihat bagusnya.[2]
2.
Hendaknya hartanya bisa dimanfaatkan secara
syar’i. Khamr, babi, darah, bangkai tidak boleh karena bukan harta yang bisa
dimanfaatkan secara syar’i.
3.
Barang yang dihibahkan milik penghibah
4.
Barang dimiliki sendiri, tidak sah
menghibahkan barang yang bukan miliknya sendiri seperti mubahaat (sesuatu
yang yang boleh dimiliki oleh setiap orang secara umum seperti hewan dipadang
sahara dan yang di laut yang tidak ada kepemilikan, rumput, dll, hibahnya tidak
sah sebelum ada kepemilikan[3]
5.
Bentuknya bagian bukan yang masih umum (tidak
bisa diserahkan) yang harus dibagi dulu seperti rumah yang besar, ini menurut
Hanafiyah. Jumhur membolehkan sesuatu yang masih umum karena bisa diserahkan.
6.
Menyerahkan barangnya. Sebagaimana riwayat
Ahmad dan Hakim didalam shahihnya, bahwasanya Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi
wasallam memberikan hadiah kepada orang Najasyah kemudian beliau bersabda
kepada Ummi Salamah, “ sungguh aku tidak melihat orang Najasyah tersebut,
ternyata dia sudah meninggal dunia dan aku tidak melihat hadiah itu kecuali
akan dikembalikan, jika mau dikembalikan kepadaku maka itu untukmu, demikian
juga.”[4]Ini
termasuk syarat luzum menurut Hanafiyah dan Syafi’iyyah, karena Abu Bakar
menolak apa yang dihadiahkan anaknya ‘Aisyah sebelum dibagi.
Menurut Hanabilah ini termasuk syarat sah
dalam sesuatu yang ditimbang dan ditakar, shahabat bersepakat atas itu. adapun
selain yang ditimbang dan ditakar:
7. Barang tidak
bisa diserahkan kecuali dengan izin penghibah. Jika penerima hibah atau
penghibah meninggal dunia sebelum penyerahan maka hibahnya belum batal dan yang menerimanya adalah ahli warisnya. Apabila sudah diberikan kepda penerima maka
tidak boleh diambil kembali sebagaimana sabda Nabi: “Barangsiapa yang mengambil
hibahnya kembali maka dia seperti mengambil lagi muntahannya.” (HR. Khamsah)[5] kecuali
diambil dari si anak atau keturunan yang dibawahnya.[6]
Dalam kitab Minhajul Muslim, syarat hibah terbagi menjadi
dua bagian:
1.
Ijab, yaitu pernyataan pemberi hibah kepada orang yang ia kehendaki
tentang sesuatu dan ia beri sesuatu dengan senang hati.
2.
Qabul, yaitu penerimaan oleh penerima hibah dengan
berkata, "Aku terima apa yang engkau hibahkan kepadaku," atau ia
menyodorkan tangannya untuk menerimanya, karena jika orang Muslim memberi
sesuatu atau menghibahkan sesuatu kepada saudara seagamanya, namun belum
diterima oleh penerimanya, kemudian penghibah meninggal dunia, maka sesuatu
atau hibah tersebut menjadi hak ahli warisnya dan penerima hibah tidak
mempunyai hak terhadapnya karena hibah seperti itu tidak memenuhi syarat yaitu
tidak adanya qabul, karena jika ia telah menerimanya, pasti ia
menggenggamnya dengan jenis penggenggaman apa pun.[7]
Berbeda pendapat dengan para ulama Madzhab Hambali didalam kitab Fiqih
Islam Wa Adillatuhu, menyebutkan sebelas syarat dalam hibah. Kesebelas
syarat itu adalah: hibah itu berasal dari orang yang boleh membelanjakan harta,
pemberi tidak paksa, pemeberi serius(tidak main-main) dalam pemberiannya itu,
benda yang diberikan adalah harta benda yang sah untuk dijual, tanpa imbalan,
diberikan kepada orang yang sah untuk memilikinya, disertai dengan pengambilan
barang oleh orang yang diberi atau walinya sebelum digunakan untuk hal lain, di
sertai dengan adanya pemberian langsung dan tidak adanya pembatasan waktu.
Orang yang boleh membelanjakan harta adalah orang yang merdeka, mukallaf,
dan bisa mengatur penggunaan harta.
Adapun syarat benda yang diberikan adalah berupa harta benda, maka
itu adalah untuk mengeluarkan kekhususan bentuk harta.[8]
Didalam kitab Fiqih Islam Wa Adillatuhu, di jelaskan dengan
terperinci syarat-syarat sighah, syarat pemberi hibah, dan syarat sesuatu yang
dihibakan.
A.
Syarat-Syarat
Sighah
Syarat-syarat sighah, menurut para ulama' Madzhab Syafi'i, adalah
sebagai berikut:
1. Bersambungnya
antara qabul dan ijab tanpa adanya pemisah yang secara syara'
dianggap berpengaruh terhadap keabsahan ijab-qabul tesebut.
2. Tidak adanya pengaitan dengan sayarat. Karena hibah adalah
pemberian kepemilikan, dan pemberian kepemilikan tidak bisa dikaitkan dengan
sesuatu yang kemungkinan akan terjadi atau kemungkinan tidak akan terjadi.
3. Tidak ada pengaitan dengan waktu, seperti satu bulan atau satu
tahun, karena hibah merupakan pemberian kepemilikan terhadap benda secara
mutlak yang terus-menerus, seperti jual-beli.
B. Syarat-Syarat Pemberi Hibah
Disyaratkan bagi pemberi hibah adalah orang
yang memiliki kewenangan untuk memberi sumbangan, yaitu berakal, baligh, dan
bisa menjaga harta. Dan ini adalah syarat berlakunya akad pemberian.
C. Syarat-Syarat Sesuatu Yang Dihibahkan
1. Benda tersebut
ada ketika dihibahkan.
Tidak sah menghibahkan sesuatu yang tidak ada
ketika akad hibah, seperti menghibahkan buah kurmanya yang akan muncul pada
ini. Adapun menghibahkan pohon kurma yang belum dicabut dan buah kurma yang
masih di pohon, maka itu seperti hibah benda-benda yang tidak diketahui
kadarnya yang tidak sah.
Sedangkan ketika benda yang dihibahkan itu
belum dipisahkan dari tempat asalnya, maka hibah itu belum terlaksana karena
adanya penghalang. Oleh karena itu, jika dikeluarkan
dari kepemilikan pemilik aslinya, berarti penghalangnya hilang. Dengan ini maka
hibah terhadapnya di bolehkan dan akadnya pun sah.
Para ulama Madzhab Syafi'i dan Madzhab Hanafi sepakat
dengan syarat yang ditetapkan oleh para ulama' Madzhab Hanafi. Mereka mengatakan bahwa semua yang sah dijual maka sah untuk
dihibahkan.
Sedangkan para ulama Madzhab Maliki mengatakan bahwa hibah tetap
sah pada benda yang tidak sah untuk dijual. Seperti budak yang melarikan diri,
unta yang lepas, benda yang tidak diketahui ciri-cirinya, dan benda yang
diambil orang lain tanpa izin(di ghasab).
2.
Benda tersebut adalah benda yang bernilai.
Tidak sah menghibahkan sesuatu yang pada dasarnya bukan harta benda,
seperti orang merdeka, bangkai, darah, binatang buruan, dan yang lainnya.
3.
Benda tersebut dapat
dimiliki secara perorangan.
Tidak sah hibah terhadap benda milik umum.
4.
Benda tersebut milik pemberi.
Tidak sah hibah harta benda milik orang lain tanpa seizin
pemiliknya.
5.
Benda
tersebut ditentukan.
Menurut para ulama Madzhab Hanafi, tidak dibolehkan hibatul
musyaa', yaitu penghibahan sebagian dari suatu benda yang bisa dibagi tanpa
ditentukan posisi bagian itu pada benda tersebut, seperti sebagian dari tempat
tinggal dan rumah besar.
Namun jika bagian yang diberikan itu ditentukan, lalu diserahkan
kepada orang yang diberi maka hibah itu sah.
V.
HAL-HAL YANG MENGHALANGI PENGAMBILAN HIBAH
Hal-hal yang
menghalangi pengambilan kembali hibah menurut hanafiyah dalam 7 hal:
1. Adanya Imbalan materi
Jika orang yang diberi hibah menawarkan
imbalan atau ganti kepada pemberi atas pemberiannya dan pemberi menerimanya,
maka pemberi tidak boleh mengambil lagi hibahnya itu. Karena rasulullah pernah
bersabda: “pemberi lebih berhak terhadap pemberiannya sebelum diberi balasan” Maksudnya
adalah belum diberi imbalan untuk hibah nya itu, dan inilah yang disebut hibah ats-tsawab
(pemberian dengan imbalan atau ganti). Imbalan terhadap pemberian ada dua macam
yaitu yang ditetapkan dalam akad dan yang tidak ditetapkan dalam akad.
2. Adanya imbalan
yang bersifat maknawi
imbalan yang bersifat maknawi Ada tiga macam:
a. Imbalan dari
Allah (pahala).
b. hubungan
kekerabatan dengan dhawil arham.
c. Hubungan suami
istri
3. Adanya tambahan
yang menyatu dengan barang yang dihibahkan, baik itu perbuatan orang yang
diberi maupun karena orang lain.
Misalnya benda yang dihibahkan adalah rumah,
lalu orang yang diberi membangun bangunan lagi didalamnya. Namun apabila
tambahan terpisah, maka ia tidak menghalagi pemberi untuk mengambil kembali
perberiannya. Begitu pula adanya pengurangan dari barang yang diberikan juga
tidak menghalagi.
4. Barang yang
diberikan keluar dari kepemilikan orang yang diberi.
Hal ini berlaku dalam sebab apapun, seperti
karena dijual, diberikan kepada orang lain dan semisalnya. Semua ini
mengakibatkan perbedaan kepemilikan dan perbedaan kepemilikan seperti perbedaan
dua benda.
5. Meninggalkan
salah satu pihak dalam akad pemberian.
Jika orang yang diberi meninggal dunia maka
pemberi tidak bisa mengambil kembali pemberiannya. Karena pemberian tersebut
berpindak kepemilikannya kepada ahli waris yang diberi. Begitu pula sebaliknya.
6. Rusak, hilang
atau dikonsumsinya barang yang diberikan.
Pemberi tidak dapat mengambil kembali hibah
yang telah Rusak atau hilang. Dia juga tidak dapat mengambil kembali dengan
bentuk nilai. Karena nilai tersebut bukanlah yang diberikan disebabkan tidak
adanya akad terhadapnya. Disamping itu penerimaan terhadap hibah tidaklah
dijamin dengan ganti.[9]
Apabila seorang menghibahkan sesuatu selain
orang tua kepada anaknya atau sebaliknya, dan dia telah menerimanya tidak ada
hak untuk mengambilnya kembali.
VI.
HUKUM HIBAH
Hukum hibbah dapat dirincikan
menjadi tiga:
1.
Mandub
Hukum hibbah pada asalnya adalah mandub kepada sesama muslim atau
bahkan kepada anak sendiri. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah
تَهَادُوْا تَحَابُوْا
“Saling berhadiahlah (memberi) maka kalian saling menyayangi.”(HR.
Al-Baihaqi)
Maka dengan saling memberi kita dapat menambah kasih sayang
diantara kita dalam bersosial.
2.
Haram
Hukum hibbah akan menjadi haram apabila tujuan hibbah atau
pemberian itu untuk suatu kemaksiatan. Begitu pula apabila saling memberi dan
menolong dalam kedhaliman. Sebagaimana firman Allah:
وَلَاتَعَاوَنُوْا عَلَى الإِثْمِ
وَالْعُدْوَانِ
“Dan janganlah tolong menolong dalam perbuatan dosa dan
permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2)
3.
Makruh
Jika melaksanakan hibbah lantaran ingin mengharap ganjaran dan
pujian dari oranglain, maka hukum hibbah berubah menjadi makruh. Karena hibbah
yang ia lakukan semata-mata tidak mengharapkan ridha Allah melainkan mengharap
balasan dari oranglain.
Sedangkan sifat hukumnya berbeda-beda. Menurut ulama’ madzhab
Hanafiyah adalah bahwa penetapan kepemilikan kepada penerima bukan suatu
keharusan, akan tetapi sah apabila barang tersebut dikembalikan kepada
pemiliknya semula. Adapun penghapusan hibah menurut ulama’ Hanafiyah pun
tergantung pada pemberi hibah. Berdasarkan sabda Rasulullah :
الْوَاهِبُ أَحَقُّ بِهِبَتِهِ ماَلَمْ
بُثَبْ مِنْهاَ(رواه الحاكم)
“Pemberi hibah lebih berhak dengan barang yang dihibahkan apabila
belum sempurna.”
Pendapat ulama’ Malikiyah adalah penetapan kepemilikan barang
kepada penerima hibah setelah adanya akad dan itu merupakan suatu kelaziman
(keharusan) disertai dengan penyerahan. Maka tidak halal dikembalikan setelah
akad tersebut, namun terdapat pengecualian bagi ayah yang memberi hibah kepada
anaknya. Seorang ayah sah menarik kembali barang yang telah dihibahkan kepada
anaknya baik besar maupun kecil.
Pendapat yang selanjutnya hampir sama dengan pendapat Malikiyah,
yaitu pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah adalah seorang pemberi hibah tidak
diperbolehkan menarik kembali barang yang telah dihibahkan kecuali penarikan
hibah seorang ayah kepada anaknya. Hal ini disandarkan melalui sabda Rasulullah
:
الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْعَائِدِ
قَيْئِهِ
“Seorang yang menarik kembali barang yang telah dihibahkannya
bagaikan menarik kembali muntahan yang telah dikeluarkan.”
Hal ini tidak berlaku bagi ayah yang menarik kembali barang yang
telah dihibahkan kepada anaknya, karena ini merupakan pengecualian.
VII.
AYAH YANG MENGAMBIL KEMBALI HIBAH YANG
DIBERIKAN KEPADA ANAKNYA
REFERENSI
1.
Minhajul
Muslim(Ensiklopedi Muslim).
2.
Dr. Musthafa al-Khin, Dr. Musthafa al-Bugha
dan ‘Ali asy-Syarbaji, Al-Fikih al-Manhaji.
3.
Item-al-wajiz.
4.
Al-fikih al-manhaji.
5.
Matan ghayah wat taqrib.
6.
Fathul Qarib al-Mujib.
7.
Abu
Bakr Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim.
8.
Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa
Adillatuhu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar