MENGENAL GADAI DALAM KACA MATA ISLAM
Makalah ditulis untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Mu’amalah
Dosen Pengampu: Ust.Fajrun Mustaqim
Oleh :
Ihda Husna Yaini
Uswatun Hasanah
AL-MA'HAD AL-'ALY LID DIRASAH AL-ISLAMIYYAH
HIDAYATURRAHMAN
SRAGEN
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah meninggikan langit
tanpa tiang dan menghiasinya dengan bintang-bintang. Shalawat dan salam tak lupa kita haturkan
kepada nabiyullah Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam yang dengan
izinNya dapat membelah bulan dan menjadikannya sebagai penguat keimanan.
Tujuan kami menulis makalah ini adalah untuk mencoba mengenalkan apa itu
pegadaian dalam kaca mata islam. Makalah ini kami tulis untuk memenuhi tugas harian
semester III Makalah Mu’amalah. Dengan terselesainya makalah ini kami
mengharap adanya kritik dan saran atas kekurangan kami dalam menyusun makalah
ini, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat serta berguna khususnya bagi
penulis dan mahasantri Hidayaturrahman pada umumnya.
Sragen,10 Oktober 2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna. Semua
permasalahan dari seluk beluk kehidupan ini dibahas didalamnya. Baik dari
permasalahan hukum, mu’amalah, adab, ibadah hingga hal yang paling sepele
didunia ini, semuanya didiatur dalam islam. Oleh karena itu kita sebagai muslim
hendaknya mengetahui aturan-aturan tersebut secara terperinci agar dapat
mempermudah amal keseharian kita yang nantinya kita dapat menjalankan kehidupan
kita secara benar menurut koridor syariat dan tidak gagal paham serta melenceng
dari islam.
Pada era modern ini, alat-alat canggih banyak
diproduksi. Sehingga banyak peluang masyarakat hari ini untuk membeli alat-alat
modern tersebut, demi memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Hal ini dapat memancing setiap individu dari masyarakat untuk melakukan
transaksi utang-piutang. Utang-piutang sendiri tidak dapat kita hindari dalam
muamalah keseharian kita. Dan seiring bergantinya zaman rasa kepercayaan sesama
individu masyarakat semakin terkikis. Sehingga dalam muamalah utang-piutang ini
banyak dari mereka yang meminta adanya jaminan atau disebut barang gadai.
Gadai merupakan masalah kontenporer didalam
muamalah hari ini. Banyak ketentuan-ketentuan didalamnya yang harus kita
ketahui dan teliti secara detail. Sehingga kita dapat terhindar dari muamalah
yang mengandung unsur riba dan sejenisnya. Oleh karena itu kami selaku penulis
akan mencoba sedikit menjelaskan apa itu gadai dan hal apa saja yang berkaitan
dengannya.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Apa definisi dan dalil tentang gadai?
1.2.2
Apa rukun dan syarat gadai?
1.2.3
Apa hukum gadai?
1.3
Tujuan Penulisan
1.3.1
Mengetahui definisi dan dalil tentang gadai.
1.3.2
Mengetahui rukun dan syarat gadai.
1.3.3
Mengetahui
hukum gadai.
Bab II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan
dalil tentang gadai
2.1.1
Definisi gadai
Ar-rahnu secara bahasa
artinya adalah at-tsubuut dan ad-dawaam (tetap). Namun dzahirnya,
makna ar-rahnu yang utama adalah al-habsu
(menahan), karena ini adalah arti yang bersifat materi.
Sedangkan definisi akad ar-rahnu menurut istilah syara’ menahan sesuatu disebaban adanya hak yang
memungkinkan hak itu bisa dipenuhi dari sesuatu tersebut. Maksudnya, menjadikan
al-‘ain (barang, harta yang
berwujud konkrit kebalikan dari ad-dain atau utang yang memiliki nilai
menurut pandangan syara’ sebagai watsiqah (pengukuhan jaminan) utang, sekiranya
barang itu memungkinkan untuk digunakan membayar seluruh atau sebagian utang
yang ada.
Ada beberapa definisi ar-rahnu yang dikemukakan para ulama fiqih:
1. Ulama Syafi’iyah mendefinisikan ar-rahnu seperti berikut menjadikan suatu barang sebagai jaminan utang yang
barang itu digunakan untuk membayar utang tersebut.
2. Ulama Hanabilah
mendefinisikan ar-rahnu adalah harta yang digunakan sebagai jaminan
utang yang ketika pihak yang menanggung utang tidak bisa melunasinya maka utang
tersebut dibayar dengan menggunakan harga hasil penjualan harta yang dijadikan
jaminan tersebut.
3.
Ulama Malikiyah mendefinisikan ar-rahnu sebagai
sesutau yang berbentuk harta dan memiliki nilai yang diambil dari pemiliknya
untuk dijadikan jaminan yang keberadaannya sudah dilazimi (positif dan
mengikat) atau yang akan menjadi lazim. Maksudnya,
suatu akad atau kesepakatan mengambil sesuatu dari hart yang bebrbentuk barang,
seperti harta yang tidak bergerak seperti harta rumah dan tanah.
4.
Ulama
Malikiah mendefinisikan ar-rahnu bukanlah
penyerahan secara konkrit akan tetapi menurut mereka ar-rahnu sudah
terbentuk, sah dan berlaku mengikat hanya dengan ijab dan qabul, kemudian
setelah itu pihak yang menerima gadai meminta untuk mengambil sesuatu yang
digadaikan tersebut.
2.1.2
Dalil tentang gadai
Hukum ar-rahnu disyariatkan
berdasarkan alqur’an dan ijma’.
a.
Al-qur’an:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ
مَقْبُوضَةٌ(283)
“Jika kalian
dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kalian tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang)”. (Al-Baqarah: 283)
Ulama sepakat
bahwa ar-rahnu hukumnya adalah boleh, baik ketika ditengah perjalanan,
maupun ketika menetap, berbeda dengan pendapat Mujahid Dan Ulama Dzahiriah. Karena sunnah menjelasan tentang pensyariatan ar-rahnu secara mutlak, baik ketika sedang dipertengahan perjalanan maupun
ketika sedang menetap.
b.
Sunnah
Maka Al-Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dari Aisyah R.A :
إشترى
رسول الله من بنسيؤة ورهنه درعه
“ Suatu ketika, rasulullah saw,
membeli makanan dari seoarang yahudi tidak secara tunai dengan mengandalkan
perisai beliau kepadanya.”
Hikmah disyariatkannya untuk menjamin
dan mengukuhkan utang. Apabila al-kafal adalah menjamin utang dengan
penjaminan manusia, maka ar-rahnu adalah menjamin utang dengan
menggunakan harta sebagai jaminannya, dalam rangka memudahkan masalah utang-piutang.
Adapun ijma’, maka kaum muslimin
telah berijma’ tentang bolehnya akad ar-rahnu. Akad gadai
juga memberikan maslahat bagi pihak yang menggadaikan karena dia bisa
mendapatkan sesuatu (utang) yang dibutuhkannya secara tunai atau dirinya bisa
menangguhkan harga pembayaran barang yang dibelinya dengan menyerahkan suatu
barang miliknya kepada pihak penjual sebagai barang gadaian. Oleh karena itu akad
gadai bisa menciptakan kemaslahatan bagi kedua belah pihak.
2.2 Rukun dan
syarat gadai
2.2.1
Rukun dan syarat gadai
Rukun pegadaian
atau gadai terdapat empat unsur didalamnya, yaitu ar raahin, al murtahin, al
marhun atau ar-rahnu, dan al marhuun bihi. Rukun ar-rahnu didalam
madhab Hanafiyyah adalah ijab dari ar raahin dan qabul dari al
murtahin, seperti akad-akad yang lain. Akan tetapi akad ar-rahnu belum
sempurna dan belum berlaku mengikat (laazim) kecuali setelah adanya al
qabdhu atau serah terima barang yang digadaikan.[1]
Sementara itu
selain ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa rukun ar-rahnu ada empat, yaitu
shiighah (ijab qabul), ‘aaqid (pihak yang melakukan akad), marhuun,
dan marhuun bihi (ad dain).[2]
2.2.2
Syarat-syarat Ar-Rahnu
Syarat-syarat ar-rahnu
sebagai berikut, syarat-syarat terbentuknya akad (syarat in’iqaad),
syarat-syarat sah, dan satu syarat luzum yaitu al qabdhu.
Syarat-syarat ini akan kami jelaskan secara terperinci inshaAllah.
1. Adapun syarat-syarat
terbentuknya akad (syarat in’iqaad) ada dua yaitu syarat kedua belah
pihak yang melakukan akad dan syarat shighah sebagai berikut,[3]
A. Syarat-syarat
kedua belah pihak yang melakukan akad, yaitu ar raahin dan al
murtahin.
a. Al ahliyyah (memiliki kelayakan dan kompetensi melakukan
akad). Ahliyyah menurut ulama Hanafiyyah adalah ahliyyatul bai’
(kelayakan untuk melakukan jual beli). Disyaratkan kedua belah pihak yang
mengadakan ar-rahnu harus berakal dan mumayyiz.maka orang gila
dan anak kecil yang belum mumayyiz idak boleh melakukan akad ar-rahnu.
Didalam ar-rahnu tidak disyaratkan bagi al aaqidain (orang yang
melakukan akad) harus baligh. Anak kcil yang sudah mumayyiz dan orang
dewasa yang safiih sah untuk melakukan akad ar-rahnu, namun
statusnya digantungkan kepada persetujuan dan pengesahan pihak wali.[4]
b. Seorang wali
atau washi menggadaikan harta si anak yang berada dibawah perwaliannya menurut
ulama Hanafiyyah. Dalam hal ini ada tiga hal yang akan dibahas sebagai berikut,
1. Menggadaikan
harta si anak atau orang gila sebagai jaminan utang si anak atau orang gila itu
sendiri. Seorang wali boleh menggadaikan harta al qaasir (anak kecil,
orang gila, orang idiot dan sejenisnya) sebagai jaminan utang yang mana utang
tersebut demi kepentingan al qaashir untuk memenuhi kebutuhannya, atau
disebabkan aktifitas pengelolaan, pemutaran dan memperdagangkan harta al
qaashir.[5]
2. Menggadaikan
harta si anak atau orang gila sebagai jaminan utang pihak wali sendiri. Menurut
Imam Abu Hanifah dan Muhammad, prinsip istihsaan menghendaki hukum
bolehnya seorang kakek, ayah maupun washi atau wali menggadaikan harta al
qaashir sebagai utang jaminan pribadi.
3. Posisi si anak
terhadap ar-rahnu setelah dirinya mencapai usia akil baligh. Jika
seorang anak mendapatkan hartanya telah digadaikan oleh walinya untuk
kepentingan pribadi wali, maka anak yang telah baligh berhak meminta ganti
harta yang telah digadaikan oleh si wali agar haknya dapat terpenuhi.
4. Pihak yang
mengadakan akad ar-rahnu lebih dari satu. Ar-rahnu dengan pihak ar
raahin dan al murtahin lebih dari satu adalah sah karena tidak
ditemukannya unsur asy syuyuu’ (hak bersama yang masih umum dan belum
ditentukan bagian masing-masing) yang menjadi sebab tidak sahnya ar-rahnu
menurut ulama Hanafiyyah.[6]
B. Syarat-syarat as
shighah (ijab qabul)
Menurut ulama Hanafiyyah mensyaratkan bahwa
akad tidak boleh digantungkan kepada
syarat tertentu dan waktu yang datang. Karena akad ar-rahnu mempunyai
unsur kebersamaan dengan akad jual beli dilihat dari sisi bahwa ar-rahnu
adalah jalan untuk membayar utang dan mendapatkan pembayaran utang.[7] Apabila ar-rahnu
disandarkan pada syarat tertentu dan waktu mendatang maka ar rahu menjadi tidak
sah, sebagaimana jual beli.[8]
Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa syarat
yang disyaratkan didalam akad ar-rahnu ada tiga macam,
a. Syarat yang sah.
Yakni mensyaratkan dengan sesuatu yangs esuai dengan tuntutan atau konsekuensi
akad ar-rahnu itu sendiri. Akad ar-rahnu yang dibarengi dengan
bentuk syarat seperti ini sah dan syarat tersebut juga sah, sama seperti akad
jual beli.
b. Syarat yang
tidak sah dan tidak berlaku. Yaitu mensyaratkan dengan sesuatu yang tidak
mengandung manfaat dan maslahat serta tujuan sehingga syarat ini tidak
sah dan tidak berlaku, namun akad ar-rahnu yang ada tetap sah.[9]
c. Syarat yang
tidak sah sekaligus menjadikan akad ar-rahnu yang ada ikut menjadi tidak
sah. Seperti mensyaratkan dengan sesuatu syarat yang merugikan pihak al
murtahin dan sebaliknya. Syarat yang seperti ini tidak sah. Bahkan tidak hanya
syarat tersebut yang batal dan tidak sah, akan tetapi menurut pendapat yang adzhar,
akad yang dibarengi dengan syart diatas juga ikut tidak sah dan batal.[10]
Akad gadai
dianggap sah dengan semata-mata adanya qabul. Meskipun belum diterima,orang
yang menggadai dipaksa untuk menyerahkan barang yang digadaikannya. Demikian
pendapat imam maliki, imam hanafi, dan imam syafi’i. Sedangkan menurut imam
hambali berpendapat, termasuk syarta sahnya gadai adalah penyerahan (ijab).
Oleh karena itu akad gadai tidak salah tanpa adanya penyerahan.[11]
C. Syarat-syarat al
marhuun bihi
1.
Al marhuun bihi harus merupakan hak wajib diserahkan kepada
pemiliknya. Karena jika al marhuun bihi bukan sebuah hak yang wajib
diserahkan kepada pemiliknya, maka tidak ada alasan untuk memberikan sesuatu
yang digadaikan sebagai jaminan.[12]
2.
Al marhuun bihi harus berupa utang yang dimungkinkan untuk
dipenuhi dan dibayar dari al marhuun (barang yang digadaikan). Apabila al
marhuun bihi tidak mungkin untuk terbayarkan dari al marhuun, maka
akad ar-rahnu tidak sah. Karena al irtihaan (menerima gadai)
tujuannya untuk istifa’ (mendapatkan bayaran hak atau utang). Oleh
karena itu jika elemen al istifa’ tidak ada maka ar-rahnu dan
tujuannya tidak ada.[13]
3.
Hak yang menjadi al marhuun bihi harus
diketahui dengan jelas dan pasti. Tidak sah suatu akad ar-rahnu dengan al marhuun bihi berupa hak yang tidak
diketahui dengan jelas dan pasti.[14]
D. Syarat-syarat al
marhuun (sesuatu yang diagadaikan)
Al marhuun adalah harta yang ditahan oleh pihak al
murtahin untuk mendapatkan pemenuhan atau bayaran haknya (istifa’)
yang menjadi al marhuun bihi.
Adapun syart-syarat al marhun menurut
ulama Hanafiyyah yaitu sebagai berikut, berupa harta yang memiliki nilai,
diketahui dengan jelas dan pasti, bisa untuk diserahkan, dipegang, dikuasai,
tidak tercampur dengan sesuatu yang tidak termasuk al marhuun, terpisah
dan teidentifikasi, baik itu berupa harta bergerak atau tidak bergerak, baik
itu harta mitsli ataupun qiimi.[15]
Saat melakukan transaksi menjual barang secara tidak tunai atau
saat memberikan pinjaman, dibenarkan pihak penjual dan krediktor meminta barang
gadai dari pembeli. Atau peminjam uang sebagai jaminan.
Bila jatuh tempo pelunasan dan pihak yang berutang tidak melunasi
tanggungannya maka barang gadai boleh dijual, lalu dipotong utang dan sisanya
dikembalikan ke pemiliknya.
Yang perlu diingat bahwa barang gadai tidak boleh digunakan oleh
pihak yang memberikan utang karna termasuk riba.[16]
Imam Syafi’I berkata:“Bila seseorang
memberi pinjaman 1000 keping uang emas dan ia mensyaratkan agar peminjam
memberikan barang gadai sebagai jaminan dan pemberi pinjaman mensyaratkan boleh
menggunakan barang tersebut maka pensyaratan tersebut tidak sah karena ia
mendapatkan keuntungan dari barang yang ia pinjamkan”.
Abdullah As-Samarqandi berkata:“Pemberi utang
tidak halal menggunakan barang gadaian dalam kondisi apapun sekalipun pemilik
barang gadainya mengizinkannya karena hal itu adalah riba dimana penerima
pinjaman membayar utang penuh dan keuntungan menggunakan barang gadaian adalah
sebagai tambahan utang ini sudah jelas
riba.”
Ibnu Qudamah berkata:“Barang gadaian tidak
boleh digunakan oleh pemberi pinjamanjika barang tersebut tidak membutuhkan
biaya perawatan, sekalipun pemilik barang mengizinkannya. Karena itu adalah pimjaman yang memberi keuntungan. Hukumnya adalah
haram kecuali pengguna barang gadai memberi imbalan.”
Haram menggunakan barang gadaian, kecuali dalam dua hal:
1. Pemberi pinjaman telah mengeluarkan biaya perawatan untuk barang
gadaian seperti ia telah memberikan rumput untuk sapi yang telah digadaikan.
Hal ini dibenarkan karena biaya perawatan sebagai imbalan dari
pemanfaatan barang, jadi utang tidak bertambah dan tidak ada riba, sesuai
dengan sabda nabi saw:
“Hewan ternak yang digadaikan boleh
ditunggangi dan diperah susunya oleh pemberi pinjaman jika ia telah
mengeluarkan biaya.” (HR. Bukhari)
E. Syarat sempurna
akad ar-rahnu, yaitu al qobdhu
Secara garis besar fuqaha’ sepakat bahwa al
qobdhu masud kedalam syarat akad ar-rahnu. Hal ini berdasarkan ayat
dibawah,
فرهان مقبوضة......(283)
“...maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang)...” [al baqarah:283][18]
Jumhur ulama selain ulama Malikiyyah
berpendapat bahwa al qabdhu tidak merupakan syarat sah akad ar-rahnu,
akan tetapi syarat berlaku mengikatnya akad ar-rahnu. Oleh karenanya
akad ar-rahnu belum berlaku mengikat kecuali setelah adanya al
qabdhu.
Sementara itu ulama Malikiyyah berpendapat
bahwa akad ar-rahnu tidak bisa sempurna (faedahnya) kecuali dengan
adanya al qabdhu atau al hauz.[19] Hal-hal
yang berkaitan dengan ar-rahnu ada tiga sebagai berikut,
a. Tata cara dan
bentuk al qabdhu atau sesuatu yang dengannya al qabhdu bisa terealisasi.
Fuqaha’ sepakat bahwa al qabdhu, jika al marhuunn berupa harta tidak
bergerak adalah dengan cara menyerhkannya dengan bentuk penyerahan yang
sesungguhnya dan nyata. Atau at takhliyah yaitu menghilangkan sesuatu
yang dapat menghalangi al qabdhu.
b. Pegadaian
formalitas harta tidak bergerak atau sesuatu yang bisa menggantikan fungsi al
qabdhu. Yang dimaksudkan syarat al qabdhu terhadap marhuun
adalah memberikan jaminan kepada pihak ad da’in, yaitu al murtahin.
Serta memberikan rasa aman dan percaya didalam dirinya dengan memberikan kuasa
untuk menahan dan memegang al marhuun dibawah kuasanya, supaya ia memperoleh
haknya dari al marhuun tersebut.[20]
c. Syarat-syarat al
qabdhu ada tiga yakni, al qabdhu harus atas izin pihak Ar raahin,
ketika dilakukan al qabdhu kedua belah pihak yang melakukan akad ar-rahnu
harus memiliki kelayakan dan kompetensi (ahliyyah) melakukan akad dan
al qabdhu harus dilakukan dalam bentuk permanen.
Fuqaha’ sepakat agar al qabdhu sah,
maka harus atas izin dari pihak ar raahin. Sedangkan maksud ahliyyah
yang harus dimiliki setiap al aaqidain yaitu keduannya harus berakat,
baligh, dan tidak dalam status dilarang mentasharufkan harta (al mahjuur)
karena masih kecil atau gila ataupun karena tidak memiliki kemampuan mengelola
dan membelanjakan harta dengan baik dan benar dengan bersikap as safah
atau menghambur-hamburkan harta.[21] Ulama Hanafiyyah,
Malikiyyah dan Hanabilah mensyaratkan bahwa al qabdhu harus dilakukan
dalam bentuk yang permanen, dalam artian al marhuun harus tetap berada didalam
genggaman al murtahin. Sebagaimana ayat yang telah disebutkan diatas,[22]
فرهان مقبوضة......(283)
“...maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang)...” [Al Baqarah:283]
2.3 Hukum gadai
Menurut fuqaha’ menggadaikan barang hukumnya
boleh, baik dalam keadaan mukim maupun safar. Dawud berpendapat gadai hanya
diperbolehkan khusus ketika bepergian.[23] Dalam pembahasan
ini mencakup dua bagian, pertama hukum-hukum akad ar-rahnu yang sah dan
hukum akad ar-rahnu yang tidak sah. Akad ar-rahnu yang sah adalah akad ar-rahnu yang
memenuhi syarat-syarat akad ar-rahnu.Sedangkan akad ar-rahnu yang
tidak sah adalah yang tidak memenuhi syarat-syarat ar-rahnu. Akad ar-rahnu
yang tidak sah menurut ulama Hanafiah ada dua yaitu bathil (batal) dan faasid (rusak).
2.3.1
Akad Ar-rahnu yang batal
yaitu akad ar-rahnu
yang tidak memenuhi salah satu syarat yang berkaitan dengan asal akad, seperti
pihak yang mengadakan akad tidak memliki kelayakan dan kompetens (al
-ahliyah) melakukan akd seperti orang gila dan orang dungu atau
tidak adanya objek akad seperti menggadaikan sesuatu yang tidak memiliki sifat
harta sama sekali atau al-marhun bihi nya tidak busa dipenuhi dengan
harta seperti hak qishas dan hak syuf’ah, atau akad rahn
kehilangan maknanya seperti mensyarakan al-marhun tidak boleh dijual untuk emlunasi al-marhun bihi
atau mesyaratkan al-murtahin tidak memiliki posisi lebih dibanding para
pihak yang berpiutang kepada ar-raahin lainnya.
2.3.2
Akad Ar-rahnu yang faasid (rusak)
Yaitu akad rahn yang tidak memenuhi
salah satu syarat yang berkaitan dengan sifat akad, seperti al-marhun
(seperti menggadaikan rumah yang didalamnya terdapat barang-barang milik ar-rahin
namun barang-barang itu tidak termasuk tergadaikan) atau al-marhun bihi berupa barang yang tertanggung dengan selain barang itu sendiri
seperti barang yang dijual yang masih berada ditangan pihak penjual berdasarkan
berdasarkan riwayat an-nawaadir karena barang yang dijual yang masih
berada ditangan pihak penjual tertanggung dengan harganya. Namun menurt dzahir riwayat sah mengadakan akad ar-rahnu dengan akad al-marhun bihi berupa barang
yang dibeli yang belum berada ditangan pembeli atau dengan kata lain yang masih berada
ditangan penjual. Sedangkan akad yang tidak sah menurut ulama selain Hanafiah hanya
ada satu macam yaitu akad ar-rahnu yang batal atu rusak, yaitu akad ar-rahnu yang tidak memenuhi syarat-syarat
sah ar-arahn yang mereka tetapkan dengan beberapa perbedaan diantara
mereka dalam sebagian syarat tersebut.
2.3.3
Hukum ar-rahnu yang sah atau
hukum berlaku mengikatnya akad ar-rahnu
Berlaku mengikatnya akad ar-rahnu hanya sepihak yaitu hanya bagi ar-rahn saja, bukan bagi al-murtahin.
Oleh karena itu arrahin tidak memilik hak untuk membatalkan dan menganulirnya,
karena kad ar-rahn adalah akad jaminan utang adapun al-murtahin
maka ia memiliki hak untuk membatalkannya kapan saja, karena akad ar-rahn adalah untuk
kemaslahatan dan kepentingan dirinya. Akad ar-rahn menurut seluruh fuqaha belum
memiliki keonsekuensi hukum apa-apa kecuali dengan al-qabdhu (al-amrhun
sudah dipegang dan berada ditangan murtahin).
Menurut jumhur berlaku mengikatnya
akad ar-rahn belum bisa terealisasikan kecuali
dengan al-qabdhu. Adapun sebelum adanya al-qabdhu maka akad ar-rahn yang ada belum berlaku mengikat bagi
ar-rahain sehingga ia masih memiliki hak untuk meneruskan ataupun memmbatalkannya.dalil
yang mereka jadikan dasar pendapat ini adalah:
فَرِهَانٌ
مَقْبُوضَة
“maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang)”.(Al-Baqarah:283)
Sedangkan
menurut ulama Malikiah ar-rahn sudah bisa terealiasasikan hanya dengan ijab
dan qabul sedangkan al-qabdhu hanyalah syarat sempurnanya akad. Jika telah ada
ijab dan qabul maka akad sah secara otomatis sudah berlaku mengikat dan pihak ar-rahn
dipaksa untuk menyerahkan al-marhun kepada al-murtahin selama
tidak ada salah satu dari empat penghalanag ini:
1. Meninggalnya ar-rahn setelah
berlangsungnya akad dan sebelum penyerahan al-marhuun kepada al-murtahin.
2.
Para
pihak yang berpiutang lalinnya menuntut dan menagih ar-raahin agar melunasi utang-utangnya kepada mereka.
3.
Ar-raahin megalami kepailitan yang bersifat menyeluruh, maksudnya semua
harta mulik ar-raahin jika digunakan untuk menggunakan utang-utang tersebut, maka akan habis tanpa
tersisa.
4.
Ar-raahin mengalami sakit keras atau gila sampai ia meninggal dunia.
Bab III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Ar-rahnsecara bahasa artinya adalah at-tsubuut dan ad-dawaam
(tetap). Makna ar-rahn yang utama adalah al-habsu
(menahan), karena ini adalah arti yang bersifat materi. Sedangkan definisi akad ar-rahn menurut istilah
syara’ menahan sesuatu disebabankan adanya hak yang memungkinkan hak itu bisa
dipenuhi dari sesuatu tersebut.
2. Dalil :
a. Al-qur’an:
وَإِنْ
كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ(283)
“Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah
tidak secara tunai), sedangkan kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”. (Al-Baqarah: 283)
b. Sunnah:
Maka Al-Bukhari
dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah R.A :
إشترى رسول الله من بنسيؤة ورهنه درعه
“ Suatu ketika, rasulullah saw,
membeli makanan dari seoarang yahudi tidak secara tunai dengan mengandalkan
perisai beliau kepadanya.”
3. Rukun gadai ada
empat unsur yaitu ar raahin, al murtahin, al marhun atau ar-rahnu, dan al marhuun bihi. Adapun syarat-syarat ar-rahnu sebagai berikut, syarat-syarat
terbentuknya akad (syarat in’iqaad), syarat-syarat sah, dan satu syarat luzum
yaitu al qabdhu.
4. Ulama sepakat
bahwa ar-rahn hukumnya adalah boleh. Hukum pegadaian akad ar-rahn ada
dua, yaitu hukum akad ar-rahn yang sah dan hukum akad ar-rahn yang
tidak sah. Akad ar-rahn yang tidak sah
menurut ulama Hanafiah ada dua yaitu bathil (batal) dan faasid (rusak).
3.2
Saran
Penulis sampaikan bahwa tulisan ini masih
banyak sekali yang perlu dilengkapi dan diperbaiki. Banyak persoalan
yang belum terbahas. Kelemahan serta kekurangan pastilah ada karena itu sudah
menjadi sifat manusia.Penulis juga belum secara sempurna jelaskan secara rinci
dan ringkas tentang apa yang dibahas diatas.
Saran bagi penulis pribadi agar bisa melengkapi jika Allah Subahanahu
wa Ta’ala mengizinkan. Akan tetapi jika hal itu tidak memungkinkan, harapan
penulis bagi generasi selanjutnya untuk bisa melengkapinya dengan menyajikan
data-data yang lebih valid. Semoga Allah selalu memberkahi dan merahmati setiap apa yang telah
diusahakan setiap diri kaum muslimin. Aamiin.
3.3
Penutup
Tiada kata lain yang pantas terucap dari lisan penulis selain
lantunan syukur kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Al-hamdulillahi
Robbil ‘Alamin yang melimpahkan kekuatan dan kemampuan serta kesempatan
untuk hamba-Nya yang lemah ini, sehingga tanpa izin dan rahmat-Nya tidak akan
selesai makalah ini meski sangat jauh dari kesempurnaan.
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini
masih banyak didapat kesalahan dan kekurangan. Dengan kelapangan dada, penulis
sangat mengharap saran dan kritik yang membangun dari semua pihak yang membaca
makalah ini, demi tercapainya ilmu yang dimaksud. Atas kekurangan tersebut penulis meminta maaf dan memohon ampun
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
DAFTAR PUSTAKA
1.
AZ-ZUHAILI, Wahbah, Alwajiz Fii Fiqhil Islam,
(Damaskus: Darul Fikr).
2.
AD-DIMASYQI , Syeikh Al-‘Allamah, Rahmah Al-Ummah
Fi Ikhtilaf Al-A’mmah, (Al-Haramain: jeddah).
3.
AZ-ZUHAILI, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu,
(Damaskus: Darul Fikr).
4. Dr. Erwandi Tarmizi MA, Harta
Haram Muamalat Kontemporer.
[3] Ibid, Alwajiz Fii Fiqhil Islam,Hlm
219.
[4] AZ-ZUHAILI, Wahbah, Fiqih Islam Wa
Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr), Hlm: 113.
[9] Ibid, hlm: 119.
[10] AZ-ZUHAILI, Wahbah, Fiqih Islam Wa
Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr),hlm: 120.
[11] AD-DIMASYQI , Syeikh Al-‘Allamah, Rahmah Al-Ummah Fi
Ikhtilaf Al-A’mmah, Al-Haramain: jeddah, hlm 235.
[23] AD-DIMASYQI , Syeikh Al-‘Allamah, Rahmah Al-Ummah Fi
Ikhtilaf Al-A’mmah, Al-Haramain: jeddah, hlm: 235.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar