Hukum Prosesi Tukar Cincin dalam Pertunangan*
I.
PENDAHULUAN
Melihat kebiasaan masyarakat yang mulai
modern, tidak asing lagi bagi kita bila mendengar istilah tunangan. Sebuah
tradisi yang telah berkembang dan menjamur di masyarakat saat ini. Dimana
seorang laki-laki memberikan cincin tunangan kepada perempuan yang akan ia
pinang, dengan memakaikan cincin tersebut di jari manisnya. Padahal perempuan tersebut masih asing[1]
baginya, begitu pula
sebaliknya.
Terkadang, acara tukar cincin ini diselenggarakan
dengan pesta yang begitu meriah. Dimana laki-laki dan perempuan bercampur-baur
menjadi satu. Dan tidak dipungkiri, dalam pesta semacam ini pasti banyak
terjadi kemungkaran karena ikhtilat yang terjadi. Oleh karena itu, dengan
adanya makalah ini penulis akan sedikit membahas tentang “Hukum prosesi tukar
cincin dalam pertunangan”. Sehingga diharapkan adanya manfaat yang berguna bagi
Mahasantri Hidayaturrahman maupun masyarakat secara umum.
II.
PEMBAHASAN
A.
Definisi
a.
Cincin
Cincin ialah perhiasan yang berupa lingkaran
kecil yang dipakai di jari, ada yang berpermata dan ada yang tidak.[2]
Sedangkan cincin pertunangan adalah cincin sebagai
tanda sudah dilangsungkannya secara resmi pertunangan antara dua orang calon
mempelai[3].
b.
Pertunangan
Pertunangan secara bahasa berasal dari kata tunang-bertunangan,
bersepakat (biasanya diumumkan secara resmi atau dinyatakan dihadapan orang banyak)
akan menjadi suami istri[4].
Sedangkan menunangi adalah meminang[5]. Jika menunangkan
dan mempertunangkan membuat menjadi bertunangan. Sedangkan yang dimaksud dengan
tunangan adalah calon istri atau suami yaitu hasil menunangkan[6].Yang dimaksud
pertunangan secara bahasa adalah perbuatan bertunangan atau menunangkan.[7]
Secara istilah tunangan yaitu apabila kedua
pasangan tersebut saling memakaikan cincin tunangan, baik secara resmi dengan
mengadakan acara khusus dan melibatkan kedua keluarga pasangan atau hanya
sekedar perjanjian diantara keduanya saja.[8]
Pertunangan bukanlah sebuah akad, melainkan sebuah janji untuk melangsungkan
pernikahan.[9]
Sedangkan istilah lain menyatakan tunangan ialah masa peralihan antara lamaran
dengan pernikahan.[10]
B. Sejarah
pertunangan
Pertunangan merupakan sebuah adat-istiadat
yang telah berlangsung sejak lama di dalam kehidupan masyarakat. Ketika seorang
pria memakaikan cincin ke jari tangan mempelai wanita dengan menamainya “cincin
tunangan”. Maka hal ini telah menyerupai perbuatan kalangan kafir. Karena
perbuatan ini merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang nashrani
ketika melangsungkan pernikahan. Dimana sang pria memasangkan cincin ke jari
jempol sebelah kiri wanita dan berkata “Dengan nama Bapa”. Kemudian setelah itu
sang pria memindahkannya ke jari telunjuk dengan berkata “Dengan nama Anak”. Kemudian
ketika pria memindahkan ke jari tengah dan berkata “ Dengan nama Ruh Kudus”.
Kemudian sang pria meletakkan cincin ke jari manis dan mereka berkata “Aamiin”.[11]
Pernah ada pertanyaan yang dilontarkan kepada
majalah berbahasa inggris “The Woman”. Majalah wanita yang terbit di London
pada edisi 19 Maret 1960 hlm.8 sebagai berikut, “Mengapa cincin pernikahan atau pertunangan
diletakkan di jari manis tangan kiri?.” Kemudian seorang penulis majalah
tersebut yang bernama Angela Talbot menjawab, “Dikatakan bahwasanya di jari
manis tersebut terdapat satu sambungan langsung ke hati. Hal ini merupakan
sebuah perilaku yang telah berlangsung lama bersumber dari ajaran kuno. Dikatakan
lagi “Bahwasanya ketika seseorang meletakkannya di ibu jari sebelah kiri
mempelai wanita, maka sang pria berkata, “Dengan nama Bapak”. Ketika diletakkan
di jari telunjuk sang pria berkata “Dengan nama Anak”. Kemudian sang pria
meletakkan pada jari tengah sebelah kiri dengan berkata “Dengan nama Ruh Kudus”.
Dan ketika sang pria meletakkan cincin tersebut di jari manis sang mempelai
wanita maka ia berkata “Aamiin”. Tulisan tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa
arab oleh seorang penulis wanita bernama Malak Hanano. Semoga Allah membalas
kebaikannya.[12]
C. Dasar Hukum
حدثنا عثمان بن ابي
شيبة, حدثنا عبد الرحمان ابن ثابت, حدثنا حسان بن عطية, عن ابي منيب الجرشي عن ابن
عمر, قال: قال رسول الله: "مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ
فَهُوَ مِنْهُمْ". (رواه ابو داود:4031)
Diriwayatkan dari Utsman bin Abi Syaibah,
diceritakan dari Abdurrahman bin Tsabit, disampaikan dari Hasan bin
‘athiyah dari Abi Munib Al-Jarsyi dari Abdullah bin Umar beliau berkata, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang menyerupai sebuah kaum maka sesungguhnya
ia bagian darinya.” (HR. Abu Daud: 4031)[13]
D. Hukum prosesi
tukar cincin
Perlu diketahui, prosesi pernikahan semacam
ini tidak termasuk bagian dari ajaran islam, tapi justru tradisi raja-raja Fira’un tempo dahulu
atau tradisi kaum nasrani. Jadi, tradisi tukar menukar cincin tunangan
merupakan tradisi yang menyusup kedalam umat islam. Siapa yang melakukan
tradisi semacam ini, berarti dia telah berta’klid buta dan menyerupai
orang-orang kafir.[14]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قال رسول الله:"مَنْ
تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ".
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari
mereka.” (H.R. Abi Daud:
4031).[15]
Tukar cincin ini haram hukumnya, baik cincin itu terbuat dari emas maupun
perak. Wallahu a’lam.[16]
Diantara tradisi orang-orang kafir[17]
yang seringkali dilakukan oleh pria muslim adalah memakai cincin pertunangan
yang terbuat dari emas. Padahal ini banyak dilakukan oleh kaum nashrani.[18] Keyakinan
mengharapkan keeratan hubungan dengan menggunakan cincin pertunangan adalah
sama dengan kita mengharapkan adanya barakah (tawassul) dari cincin
pertunangan tersebut.
Perbedaan tawassul dan orang yang berdoa kepada selain Allah ialah,
apabila orang yang berdoa kepada selain Allah Ta’ala, telah
terjerumus ke dalam syirik besar. Diantara contohnya seperti yang dilakukan
orang-orang jahil ketika mereka menuju kuburan
orang-orang yang dianggap wali yang shalih. Lalu berdoa kepada penghuni
kuburan-kuburan agar dibebaskan dari berbagai macam bencana.[19]
Sedangkan tawassul adalah memanjatkan doa kepada Allah namun diiringi
dengan menyebutkan sesuatu yang dijadikan perantara dalam doa tadi.
Maka dalam hal ini tawassul yang diperbolehkan ada tiga: pertama, tawassul
kepada Allah dengan menggunakan asma’ dan sifat-Nya.[20]
Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَلِلَّهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى
فَادْعُوه (180)
“Allah mempunyai asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya
dengan menyebut asmaul husna itu...” (QS. Al-A’raf: 180)
Kedua, bertawassul
kepada Allah dengan menggunakan amal shalih. Sebagaimana yang diceritakan dalam
kisah tiga orang yang terperangkap di dalam gua. Ketiga, bertawassul kepada Allah
dengan menggunakan doa orang-orang shalih yang masih hidup.[21]
E. Hukum memakai
cincin pertunangan
Cincin pertunangan adalah berupa cincin. Pada
asalnya, hukum cincin itu sendiri tidak masalah atau mubah. Hanya saja, jika disertai keyakinan sebagaimana yang
dilakukan oleh sebagian manusia. Yaitu, bahwa jika nama si laki-laki
ditulis dicincin yang diberikan kepada wanita tunangannya, dan nama si wanita
ditulis di cincin yang diserahkan kepada lelakinya. Lalu ada anggapan bahwa
keduanya pasti akan terikat sebagai pasangan suami istri. Maka dalam kondisi
demikian, memakai cincin tunangan itu diharamkan. Karena itu mengaitkan cincin
dengan sesuatu yang tidak ada dasarnya baik secara syar’i maupun secara
indrawi.
Demikian juga, laki-laki yang meminang tidak
boleh memakaikan cincin tunangannya tersebut kepada wanita tunangannya. Karena
ia belum menjadi istrinya, ia masih menjadi wanita asing, bukan mahram baginya.
Karena si wanita bisa disebut sebagai istri setelah akad nikah.[22]
Selain menggunakan cincin pertunangan bukan ajaran syari’at islam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengharamkan bagi laki-laki menggunakan cincin emas. Sebagaimana
sabda beliau,
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ فِي يَدِ
رَجُلٍ، فَنَزَعَهُ فَطَرَحَهُ، وَقَالَ: «يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ
مِنْ نَارٍ فَيَجْعَلُهَا فِي يَدِهِ»، فَقِيلَ لِلرَّجُلِ بَعْدَ مَا ذَهَبَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خُذْ خَاتِمَكَ انْتَفِعْ بِهِ،
قَالَ: لَا وَاللهِ، لَا آخُذُهُ أَبَدًا وَقَدْ طَرَحَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (رواه مسلم: 2090)
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam melihat seorang sahabat memakai cincin emas, lalu beliau melepas cincin tersebut dari jari orang itu.
Beliau bersabda, “Salah seorang dari kalian sengaja telah mengambil sebuah
bara dari api dan diletakkan ditangannya.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi, dan seseorang mengatakan kepada pemilik cincin itu, “Ambillah
cincin itu dan pergunakanlah untuk keperluanmu yang lain.” Kemudian orang itu
dengan tegas menjawab, “ Demi Allah, saya tidak akan mengambil kembali apa yang
tidak disukai Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam.” (H.R. Muslim) [23].
Dari hadits diatas telah dijelaskan dengan
adanya pengharaman bagi laki-laki dalam menggunakan cincin emas. Sedangkan
untuk cincin perak atau barang berharga lainnya boleh bagi laki-laki menggunakannya.
Meski demikian walaupun cincin pertunangan yang dipakai oleh laki-laki terbuat
dari perak atau selain emas, tetap saja bahwa cincin pertunangan bukanlah syariat
islam. Apalagi jika disertai dengan keyakinan jika menggunakan cincin tersebut
dapat mempererat hubungan keduanya, dan jika dilepas dapat merenggangkan
hubungan keduanya. Maka ini merupakan kesyirikan, dan kepercayaan ini adalah
kepercayaan jahiliyah.[24]
Di dalam kitab fatawa al mar’ah al muslimah
Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata “Diblah itu adalah
cincin pertunangan, sebuah cincin sebenarnya hukum asalnya
adalah mubah namun sebagian orang meyakini bahwa pertukaran cincin itu akan
menjadikan eratnya hubungan kedua calon mempelai dengan menuliskan nama
masing-masing pada cincin pasangannya, jika demikian maka pertukaran cincin
haram hukumnya, karena berkaitan dengan sesuatu yang tidak ada dasarnya menurut
syari’at maupun menurut akal sehat. Demikian juga pemakaian cincin
tersebut tidak boleh dilakukan sendiri oleh peminang laki-laki, karena tunangannya
belum sah menjadi istrinya. Dia masih sebagai orang asing (bukan mahram) sampai
akad nikah dilaksanakan.”[25]
III.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pertunangan merupakan sebuah tradisi
orang-orang kafir, yang seringkali dilakukan oleh kebanyakan kaum nashrani. Dengan
menyebut “Dengan nama Bapa, nama Anak, dan
nama Ruh Kudus” dalam prosesi tukar cincin. Islam melarang menggunakan cincin
pertunangan dengan alasan:
a. Menggunakan
cincin pertunangan bukanlah syariat islam
b. Jika
menggunakannya disertai dengan keyakinan bisa mempengaruhi hubungan antara
keduanya, maka ini termasuk syirik kepada Allah.
Dalam masalah cincin pertunangan yang mana pemakainya mengharapkan
kelanggengan sebuah hubungan dari cincin tersebut. Maka hukum pemakaian
cincin tunangan adalah haram, karena berhubungan dengan keyakinan yang tidak ada
dasarnya, dan sama saja seperti
bertawassul dengan benda mati yang juga haram hukumnya.
Bagi laki-laki dan perempuan baik cincin pertunangan yang dikenakan terbuat
dari emas atau perak, maka haram menggunakan cincin pertunangan. Dan bagi
laki-laki jika terbuat dari emas, maka lebih haram lagi hukumnya.
B.
Saran dan kritik
Jika cincin dimaksudkan sebagai hadiah atau
bukan sebagai wasilah pengokoh hubungan, maka termasuk dalam hibah. Seperti
yang telah disebutkan di dalam kitab mausu’ah fiqhu al islami karya Dr.
Wahbah az zuhaili. Dengan kata lain pria peminang memberikan hadiah berupa
cincin atau benda selainnya kepada wanita pinangannya, bukan bermaksud agar
hubungan keduanya kokoh dengan adanya cincin pertunangan tersebut dan
mengaitkan dengan sesuatu yang tidak ada dasar dalam syar’i ini tidak
dibenarkan. Sehingga yang dibenarkan adalah memberikan hadiah kepada calon
pengantin wanita baik berupa cincin dan selainnya, tanpa mengadakan acara
besar-besaran dan kepercayaan yang tidak dibenarkan. Serta tidak adanya
ikhtilat antara kedua calon dan pemakaian cincin emas calon oleh pengantin
pria. Wallahu a’lam.
Daftar Pustaka
Al-Qur’anul Karim
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin Al-. 1989. Adabu Az Zafaf Fi As Sunnah Al Mutahharah. Oman: Maktabah Al Islamiah
Hajjaj, Imam Abi Al Husain Muslim Bin Al-. 2011. Shahih Muslim. Beirut: Dar Alkotob Al Ilmiyah
Hanafi, Ali bin Abi Al-Iz Al-. 1995. Tahdhib Syarhu Ath-Tahawi. Beirut:
Darus Shahabah
Ifta’, Al-Lajnah Ad Daimah Lil. 1995. Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah. Riyadh: Maktabah Dar Tibriyah
Kamal, Abu Malik. 2015. Shahih Fiqih Sunnah, cet. Ke-6, Jakarta Selatan: Pustaka Azzam
Nasional, Departemen Pendidikan. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka
Sulaiman, Imam Hafidz Abi Daud. 2009. Sunan Abi Daud. Beirut: Dar Risalah Al Islamiah
Umar, Muhammad Samir. 2016. Fikih Kontemporer Wanita Dan Pernikahan. Solo: Aqwam
Zuhaili, Dr. Wahbah Az. 2003. Mausu’ah
Fiqhu Al Islami,cet. ke-3. Damaskus: Dar Al Fikr
https://id.wikipedia.org/wiki/Pertunangan. William-Adolphe
Bouguereau, Pinangan
diakses pada 13 Maret 2018 pukul 1:11
https://shafidaa.wordpress.com/tradisi-tunangan-dalam-pandangan-islam/ diakses pada 13 Maret 2018 pukul 9: 41
* Makalah ini dipresentasikan dalam Diskusi Ilmiah di Ma’had ‘Aly Hidayaturrahman,
pada Ahad 18 Maret 2018
[1] Bukan mahrom
[2] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), hlm. 214.
[3] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid, hlm. 1224.
[8] https://shafidaa.wordpress.com/tradisi-tunangan-dalam-pandangan-islam/, diakses pada 13 maret 2018 pukul 09: 41.
[9] Abu Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Shahih fiqih sunnah, (Jakarta
Selatan: Pustaka Azzam, 2015), cet. 6, hlm. 192.
[11] Muhammad Nashiruddin Al Bani, Adabu Az-Zafaf fi As-Sunnah Al-Mutahharah,
(Oman: Maktabah Al-Islamiah, 1989), hlm. 212.
[13] Imam Hafidz Abi Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar Risalah Al-Islamiah, 2009), hlm. 144.
[14] Abu Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Shahih fiqih sunnah, (Jakarta
Selatan: Pustaka Azzam, 2015), cet. 6, hlm. 192.
[15] Imam Hafidz Abi Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar Risalah Al-Islamiah, 2009), hlm. 144.
[16] Abu Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta
Selatan: Pustaka Azzam, 2015), cet. 6, hlm. 192.
[17] Ibid
[18] Muhammad Nashiruddin Al- Albani, Adabu Az Zafaf Fi As Sunnah Al Mutahharah, (Oman: Maktabah Al
Islamiah, 1989 h), hlm. 212.
[19] Ali bin Abi Al-Iz Al-Hanafi, Tahdhib Syarhu Ath-Tahawi, (Beirut:
Darus Shahabah, 1995), hlm. 64.
[20] Ibid
[21] Ibid
[22] Muhammad Samir Umar, Fikih Kontenporer Wanita Dan
Pernikahan, (Solo: Aqwam, 2016), hlm 485 dan Al-Lajnah Ad Daimah Lil Ifta’,
Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah, (Riyadh: Maktabah Dar Tibriyah, 1995), juz.1,
hlm 463.
[23] Imam Abi Al Husain Muslim Bin Al Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar
Alkotob Al Ilmiyah, 2011), hlm. 373.
[24] Al-Lajnah Ad Daimah Lil Ifta’, Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah,
(Riyadh: Maktabah Dar Tibriyah), juz.1, hlm 462.
[25] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar