Rabu, 16 Agustus 2017

Bersekutu dalam Do'a



          

  Bila kita amati, didalam roda kehidupan ini pergantian zaman sangatlah segnifikan. Di saat Allah ta’ala menurunkan agama berupa tauhid, manusia saat itu berada pada titik keimanan. Kemudian silih bergantinya zaman manusia mulai meninggalkan petunjuk dan berpaling menuju agama syaiton. Ketika islam belum diturunkan, manusia sedang berada pada fase keterpurukan dan penuh kemaksiatan. Begitu dan seterusnya keadaan tersebut berputar silih bergantinya waktu.
Hingga pada satu titik tertentu Allah ta’ala menurunkan islam lewat perantara malaikat jibril ‘alaihissalam kepada nabi Muhammad sallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sinilah mulai disebarkannya kembali syari’at kepada manusia sebagai petunjuk kehidupan mereka setelah beratus-ratus abad kosongnya kenabian masa nabi Isa ‘alahissalam. Namun ketika kehidupan mulai menampakkan gemilangnya, kemudian beranjak menompah titik kemodernan, banyak dari mereka yang mencoba melanggar hukum-hukum islam baik hukum yang ringan bahkan hukum-hukum yang berat. Seperti halnya keadaan kita saat ini yakni akhir zaman, dapat kita saksikan manusia zaman sekarang pelan-pelan mulai  berpaling dari syari’at  islam yang lurus. Salah satu pelanggaran hukum yang dilakukan manusia zaman ini ialah bersekutu dalam doa atau syirku ad da’wah.
Pada asalnya pelanggaran ini bukan hanya terjadi pada zaman ini saja, akan tetapi pelanggaran ini sudah terjadi setelah disyari’atkan syirik itu sendiri. Oleh karenanya Allah ta’ala menetapkan adanya larangan bersekutu kepada selain Allah, ini merupakan hal yang pertama kali diajarkan oleh Allah ta’ala untuk senantiasa bertauhid ketika awal manusia diciptakan. Diketahui bahwa ini meruakan perkara yang bertumpu pada aqa’id atau ideologi, sehingga tidak diragukan lagi bahwasannya siapa saja yang melakukan amalan syirik ini bisa saja dihukumi kafir dengan ketentuan yang telah Allah ta’ala tetapkan.
Perlu dilazimi bahwa hal ini amatlah penting untuk difahami oleh manusia pada umumnya agar tidak terjerumus pada hal-hal syirik yang kadang tanpa disadari telah menyusup pada amalan keseharian kita. Dalam makalah ini penulis akan mencoba mengulas sedikit pembahasan tentang syirik terkhusus pada permasalahan tentang syirik dalam do’a, dan mengambil judul dengan nama “Bersekutu Dalam Do’a”.
Masuk dalam pembahasan, tentang pengertian syirik. Dalam buku Kitabut Tauhid karya DR. Shalih Bin Fauzan Al-Fauzan disebutkan bahwa as syirku adalah menyamakan selain Allah dengan Allah ta’ala dari apa yang ada padaNya, berupa kekhususan yang dimilikinya, seperti berdo’a kepada Allah ta’ala dengan selainnya. Atau berpaling kepada sesuatu selain Allah ta’ala dalam melakukan jenis-jenis ibadah seperti menyembelih hewan, besumpah, do’a dan lain sebagainya kepada selain Allah ta’ala.
Barang siapa yang beribadah selain Allah ta’ala maka ia telah menempatkan ibadah kepada yang tidak berhak. Dan hal tersebut merupakan a’dhomu ad dulmun atau kedholiman yang paling tinggi. Sebagaimana Allah ta’ala telah berkalam dalam Al qur’an surat al lukman ayat 13:
ان لبشرك لظلم عظيم (13)
Dan Allah ta’ala sekali-kali tidak akan mengampuni orang-orang yang musyrik terhadapNya, apabila ia mati dalam kesyirikannya. Allah subhanahu wa ta’ala berkalam :
ان الله لا يغفران يشرك به  و يغفر ما دون ذالك لمن يشاء(النساء: 48)
Dan jannah telah diharamkan bagi mereka orang-orang yang musyrik. Maka syirik akan membatalkan segala bentuk amalan. Orang yang melakukan kesyirikan halal darahnya dan hartanya, dan syirik adalah akbarul kabair atau termasuk dalam dosa besar. Syirik merupakan pengurangan dan pencacatan yang menghilangkan kerububiyahan diri Allah subhanahu wa ta’ala.
As syirku dibagi menjadi dua jenis, yang pertama ialah syirik besar. Syirik besar dapat mengeluarkan seseorang dari agamanya. Dan ia akan dikekalkan bersama pelaku-pelaku syirik yang lain dineraka jahannam, apabila ia mati dan belum bertaubat. Hal ini merupakan amalan ibadah yang mengantarkan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala. Seperti berdo’a dan ber taqorrub atau mendekatkan diri kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala, dengan menyembelih hewan kurban dan nadhar atau sumpah kepada selainnya kepada kuburan, jin, dan syaiton-syaiton. Takut terhadap kematian, jin, atau syaiton merupakan bentuk syirik besar.
Sedangkan bentuk kedua ialah syirik kecil. Syirik kecil  tidak mengeluarkan seseorang dari agama akan tetapi akan mengurangi kadar tauhid pada diri seseorang. Dan ini merupakan wasilah atau jalan menuju syirik besar. Salah satu bentuk syirik besar ialah syirku ad da’wah atau syirik dalam do’a. Yaitu seseorang berdo’a atau memohon kepada selain Allah ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berkalam:
فاذا ركبوا في الفلك دعوا الله مخلصين له الدين فلما نجهم الى البراذا هم يشركون (العنكبوت: 65)
            Dalam buku al minhah al ilahiyah fi tahdzibi syarhi at thahawi karya Imam At Thahawi disebutkan sebuah nadhom penting didalamnya yaitu:
"و الله تعالى يستحب الدعوات,و يقضي الحاجات"
Artinya: “Sesungguhnya Allah ta’ala maha pengabul do’a, dan memenuhi kebutuhan”.
 Maka barang siapa memalingkan doa ibadah (shalat, sujud, menyembelih, puasa, thawaf) kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala atau memalingkan doa masalah (memohon rejeki, meminta hujan, meminta keturunan, memohon keselamatan) kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala maka dia jatuh dalam syirik akbar yang mengeluarkan dari Islam. Syirik akbar yang tersamar, ini banyak tidak disadari manusia bahkan dianggap tidak syirik. Pertama, Beribadah di makam makam para wali, orang sholeh, orang orang yang dianggap dekat dengan Allah.
Penyebab tidak jelasnya syirik ini adalah manusia tidak menganggap do’a, meminta pertolongan, dan meminta bantuan kepada orang- orang yang telah dikubur sebagai ibadah. Mereka mengira bahwa ibadah hanya terbatas pada ruku’, sujud, shalat, puasa dan semacamnya. Padahal, ruh ibadah adalah do’a, sebagaimana tersebut dalam hadits:
“Do’a adalah ibadah”. (HR. At-Tirmdzi, Ia berkata: ini hadits hasan shahih)
Mereka berkata, “Kami tidak meyakini bahwa mayit tempat kami memohon dan meminta bantuan sebagai sembahan atau tuhan, justru kami meyakini bahwa mereka adalah makhluk seperti kita, akan tetapi mereka adalah perantara antara kami dengan Allah subhanahu wa ta’ala dan pemberi syafa’at di sisi-Nya. Alasan ini muncul karena ketidaktahuan mereka tentang Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka mengira Allah subhanahu wa ta’ala seperti raja tiran dan penguasa kejam, tidak mungkin dicapai kecuali lewat perantara dan pemberi syafa’at. Ini persis seperti asumsi yang menjerumuskan orang-orang yang menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala pada zaman dahulu, saat mengatakan:
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah
subhanahu wa ta’ala dengan sedekat-dekatnya” (Az-Zumar ayat 3).
Mereka menyembah selain Allah subhanahu wa ta’ala apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa’atan, dan mereka berkata:
“Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah subhanahu wa ta’ala”(Yunus ayat 18).
Syirik besar adalah memalingkan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah, seperti berdo’a kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala atau mendekatkan diri kepadanya dengan penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain Allah, baik untuk kuburan, jin atau syaithan, dan lainnya. Atau seseorang takut kepada orang mati (mayit) yang (dia menurut perkiraannya) akan membahayakan dirinya, atau mengharapkan sesuatu kepada selain Allah, yang tidak kuasa memberikan manfaat maupun mudharat, atau seseorang yang meminta sesuatu kepada selain Allah, di mana tidak ada manusia pun yang mampu memberikannya selain Allah, seperti memenuhi hajat, menghilangkan kesulitan dan selain itu dari berbagai macam bentuk ibadah yang tidak boleh dilakukan melainkan ditujukan kepada Allah saja. Allah ta’ala berfirman:
دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ ۚ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Do’a mereka di dalamnya adalah, ‘Subhanakallahumma,’ dan salam penghormatan mereka adalah: ‘Salaamun.’ Dan penutup do’a mereka adalah: ‘Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamin.” [Yunus: 10]
Syirik besar dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menjadikannya kekal di dalam Neraka, jika ia meninggal dunia dalam keadaan syirik dan belum bertaubat daripadanya. Syirik do’a, yaitu di samping ia berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia juga berdo’a kepada selain-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo’a kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” [Al-‘Ankabuut: 65]
Syeikh sulaiman nashir ulwan dalam bukunya at-tibyan syarhu nawaqidhil islam menyebutkan bahwa didalam Al-Qawa’idul Arba’ mengatakan, “kaidah yang keempat, bahwasanya orang-ornag musyrik dizaman kita ini,kesyirikan mereka terus menerus,yaitu dilakukan ketika kondisi lapang dan sulit”. Beliau juga berkata didalam pendahuluan buku Al-Qawa’idul Arba’, “Apabila kesyirikan telah masuk kedalam peribadahan, maka ibadah itu rusak seperti najis yang mengotorui dalam bersuci. Apabila kamu mengetahui sebuah ibadah itu tercampuri dengan kesyirikan, amal itu akan terhapus, dan pelakunya menjadi penghuni neraka yang kekal, itu makanya kamu telah mengetahui bahwa hal terpenting yang dibebankan atasmu adalah mengetahuinya. Semoga Allah ta’ala membersihkanmu dari kotoran itu, yaitu menyekutukan Allah ta’ala dengan sesuatu.
Kibarul Ulama di Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil ‘Ilmiyah wal Ifta’ menyebutkan Sekelompok orang ber istighotsah (meminta pertolongan ketika musibah) kepada selain Allah ta’ala, mereka telah berbuat syirik besar. Jika seorang berdoa: “Jawablah wahai para pengawal asmaul husna untuk mengabulkan hajatku?”. Ini merupakan syirik besar, karena itu adalah doa kepada selain Allah. Meminta tolong kepada orang mati adalah syirik besar, karena itu adalah doa (permohonan) kepada selain Allah ta’ala.
Berdoa kepada selain Allah ta’ala seperti kepada para wali dan orang-orang shalih merupakan syirik besar, karena dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam. Berdoa (memohon, red) kepada para Nabi dan wali yang sudah mati, masuk dalam syirik besar. Seorang yang ber-istigotsah dengan para wali ketika musibah (istighotsah adalah meminta pertolongan di kala susah, red ), juga merupakan syirik besar.
Bertawasul dalam doa dengan kehormatan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, atau kehormatan sahabat dan selainnya.  (Tawassul adalah mengambil sarana/wasilah agar do’a atau ibadahnya dapat lebih diterima dan dikabulkan. Al-wasilah menurut bahasa berarti segala hal yang dapat menyampaikan dan mendekatkan kepada sesuatu.,red), ini tidak boleh (karena tidak berdasarkan dalil yang shahih, penj.). Istighotsah dengan orang mati atau orang hidup yang tidak hadir, baik jin, malaikat maupun manusia.  (istighotsah adalah meminta pertolongan di kala susah, red ), juga masuk dalam kriteria syirik besar.
 Bertawasul dalam doa dengan nama-nama Allah ta’ala yang maha baik.  (Tawassul adalah mengambil sarana/wasilah agar do’a atau ibadahnya dapat lebih diterima dan dikabulkan. Al-wasilah menurut bahasa berarti segala hal yang dapat menyampaikan dan mendekatkan kepada sesuatu.,red), hal itu disyariatkan. Boleh seorang berkata: Ya Mu’in (Wahai Yang Maha Penolong) Ya Robb (Wahai Robb). Istighotsah dan bergantung kepada jin demi terkabulnya hajat, merupakan syirik dalam ibadah.
Seorang muslim ketika hendak berdiri maupun duduk selalu mengucapkan: “Ya Aba Qosim, Ya Syaikh Abdul Qodir Jailani”, termasuk dalam syirik besar. Istighotsah kepada selain Allah untuk kesembuhan orang sakit, menurunkan hujan, atau memanjangkan umur, termasuk syirik besar. Hukum meminta tolong dengan kuburan para wali, tawaf mengitarinya, mencari berkah dengan batu-batuannya dan bernadzar untuk para wali tersebut adalah syirik besar.
Meminta tolong kepada para wali yang telah mati, memayungi kuburannya dan ber tawassul dengan mereka adalah syirik besar (adapun memayungi kuburannya termasuk bid’ah yang mengantarkan kepada syirik). Boleh seorang muslim berdoa dengan nama-nama Allah demi kesembuhan dari penyakit. Hukum Islam terhadap orang yang meminta tolong kepada jin untuk mengetahui perkara-perkara ghaib, tidak boleh karena termasuk syirik.
Sebagaimana kita ketahui bahwa seluruh makhluk yang muslim dan seluruh ahli agama dari kalangan apapun ia, telah melazimi bahwasanya do’a merupakan sebab terkuat untuk meraih manfaat dan menolak madharat. Allah telah memberi kabar jika orang kafir ia mendapati sebuah bencana diatas kapal mereka maka mereka akan memohon kepada Allah ta’ala dengan penuh keikhlasan. Oleh karenanya kita sebagai kaum muslimin yang mengaku beriman hendaknya selalu menyandarkan diri kepada Allah ta’ala dalam segala tingkah laku terkhusus dalam do’a, karena hanya Allah ta’ala lah yang pantas dan berhak untuk dimintai permohonan bukan yang lain. Wallahu a’alam bis shawab.



Referensi:
·         Pembatal keislaman, kitab asli Syeikh Sulaiman Nashir Ulwan dalam bukunya at-tibyan syarhu nawaqidhil islam hal 60, 64.
·         Akidah word bab 14
·         Kitabut Tauhid karya DR. Shalih Bin Fauzan Al-Fauzan versi arab hal 327
·         al minhah al ilahiyah fi tahdzibi syarhi at thahawi karya Imam At Thahawi 
            #  almanhaj.or.id
·        # nasihatonline.wordpress.com 
          #  alurwahalwutsqa.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar