Rabu, 16 Agustus 2017

Sujud Sahwi Menurut Empat Madzhab





SUJUD SAHWI MENURUT EMPAT MADZHAB
Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Fiqh Ibadah
Dosen Pengampu : Usth. Inarika


 Oleh :
Farida Ahmad Thufailah
Fitri Eka Setiani
Nurul Fatihatul Diyanah
Nurin Hafizah Haidir
Uswatun Hasanah

PROGRAM AD-DIROSAH AL-ISLAMIYAH
AL-MA’HAD AL-‘ALY HIDAYATURRAHMAN
PILANG MASARAN SRAGEN
2017


I.      PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
        Sebagai seorang hamba Allah yang beriman sudah selayaknya melaksanakan semua kewajiban yang diperintahkan oleh Allah, salah satunya ialah sholat, sholat merupakan tiang agama. Sholat fardhu di laksanakan  lima kali dalam sehari dan itu merupakan kewajiban seorang mukallaf jika tidak melaksanakan maka akan mendapatkan dosa.
Dalam sholat terdapat rukun-rukun, syarat sah maupun wajib. Dan seseorang yang melaksanakan sholat harus memenuhi rukun-rukun sholat. Rasulullah pun sudah mencontohkannya bagaimana gerakan sholat itu. Lalu bagaimana jika mengurangi atau menambahkan suatu rukun dalam sholat atau ragu dalam bilangan rakaat?. Maka seseorang tersebut dianjurkan untuk sujud sahwi.
Sujud sahwi merupakan sujud yang dilakukan sebelum atau sesudah salam ketika seseorang mengurangi atau menambahkan gerakan atau bacaan dalam sholat. Lalu bagaimana sujud sahwi menurut empat madzhab padahal sudah diketahui seseorang itu tidak pernah luput dari kesalahan dan lupa. Berangkat dari hal inilah makalah ini ditulis mengenai sujud sahwi menurut empat madzhab
B.     Rumusan masalah
Bagaimana hukum sujud sahwi menurut empat madzhab?
C.    Tujuan penulisan
Untuk mengetahui hukum sujud sahwi menurut empat madzhab
D.    Manfaat penulisan
1.      Sebagai wawasan keilmuan bagi penulis.
2.      Sebagai sumbangan perkembangan ilmu pengetahuan bagi kalangan akademis ataupun masyarakat secara umum

II.      PEMBAHASAN
A.    Definisi
        Sujud secara bahasa berarti menyerahkan diri kepada Allah Ta’ala, sedangkan sahwu berarti meninggalkan sesuatu tanpa diketahui. Dan makna dari as-sahwu, asy-syak,dan an-nisyan memiliki makna sama menurut para ahli fiqh.[1] Sedangkan kalimat as-sahwu fi syaiun artinya meninggalkan sesuatu tanpa sengaja atau tidak tahu, sedangkan as-sahwu ‘an syaiin artinya meninggalkan sesuatu dengan sengaja. Kata an-naasi dan as-saahi memilki arti yang sama yaitu lupa, akan tetapi an-naasi jika diingatkan masih bisa ingat berbeda dengan as-saahi.[2]
         Dalam kitab shohih fikih sunnah dijelaskan bahwa sujud sahwi menurut istilah adalah sujud yang dilakukan pada akhir sholat atau setelahnya untuk menutupi kekurangan karena tertinggalnya sesuatu yang diperintahkan atau melakukan sebagian perkara yang dilarang tanpa sengaja.
B.     Dasar hukum

قال الإمام أحمد : نحفظ عن النبي صلى الله عليه و سلم خمسة أشياء : سلم من اثنين فسجد, سلم من ثلاث فسجد, وفي الزيادة و النقصان وقام من اثنين ولم يتشهد
“Imam Ahmad berkata: Kami hafal lima perkara dari Rasulullah, yaitu sujud ketika salam pada rakaat kedua, sujud ketika salam pada rakaat ketiga, ketika menambah rakaat, ketika mengurangi rakaat, dan ketika bangkit dari rakaat kedua tanpa duduk dan membaca tasyahud.”
عن أبي سعيد الخدري قال : قال رسول الله إذا شكَ أحد كم في صلاته فلم يدري كم صلَى ثلاثا أو أربعا فليطرح الشَكَ و ليبن على ما استقين, ثمَ يسجد سجدتين قبل أن يسلَم, فإن كان صلَى خمسا شفعن له صلاته, وإن كان صلَى إتماما لأربع كانتا ترغيما للشيطان (رواه أحمد و مسلم)
Dari Abu Sa’id al-Khudri berkata: bahwa Rasulullah bersabda “Apabila seseorang ragu dalam sholatnya dan tidak tahu apakah tiga rakaat atau empat rakaat, hendaklah ia meninggalkan keragu-raguan tersebut dan membangun atas keyakinannya, kemudian ia sujud dengan dua kali sujud untuk sahwi sebelum salam. Apabila ia sholat dengan lima rakaat, maka ia telah menggenapkan. Namun apabila ia sholat dengan sempurna, maka ia telah menghinakan syaiton”[3]
C.    Hukum sujud sahwi
        Sujud sahwi disyari’atkan dengan tujuan untuk menambal kekurangan tanpa harus mengulangi sholat, karena meninggalkan perkara yang bukan asasi. Dan sujud sahwi tidak di syari’atkan jika ada unsur kesengajaan. Sebagaimana imam Ath-thabrani meriwayatkan dari Aisyah :
من سها قبل التمام فليسجد سجدتي السهو قبل أن يسلم
 “siapa saja yang lupa sebelum selesai sholat, maka akhir sholat    sebelum salam di syariatkan untuk sujud 2 kali”
        Menurut Malikiyah sujud sahwi hukumnya sunnah muakkadah bagi imam dan orang yang sholat munfarid. Adapun bagi makmum yang masih ikut imam maka tidak ada sujud sahwi baginya, karena kekurangan di tanggung oleh imam. Akan tetapi jika lupa rakaat setelah imam salam, maka makmum sujud sahwi.[4]
        Adapun makmum masbuq yang mendapatkan satu rakaat bersama imam maka ia sujud qabli bersama imam sebelum mengqadha yang ia tinggalkan jika imam sujud, jika tidak maka makmum sujud sendiri sebelum menyelesaikan tanggungannya kemudian mengakhirkan sujud ba’di bersama imam dan makmum melakukan sujud setelah imam salam jika mendahuluinya maka sholatnya batal.[5] Dalam madzhab Maliki sujud sahwi di bagi menjadi 2 yaitu:
1.      Sujud qobli terjadi sebelum salam.[6]
            Sujud qabli 2 sujud yang di lakukan dengan tasyahud tanpa disertai doa walaupun mengulangi kelupaan, maka sujud dilakukan sebelum salam ketika mengurangi sunnah muakkadah atau ketika mengurangi 2 sunnah yang ringan.
2.      Sujud ba’di terjadi sesudah salam.[7]
            Sujud ba’di yaitu 2 kali sujud dengan tasyahud dan salam. Sujud di lakukan setelah salam jika adanya penambahan. Dari Abdulloh bin Mas’ud radhiyallahu’anhu sesungguhnya Rasulullah melakukan sholat dhuhur sebanyak 5 rakaat maka di katakan kepada beliau apakah kau menambah rakaat sholat? Rasulullah bertanya: apa yang terjadi? para sahabat menjawab: engkau telah melakukan sholat sebanyak 5 rakaat maka engkau sujud 2 kali sujud setelah salam. (HR.Bukhari dan Muslim)[8]
        Menurut Hanafiyah Sujud sahwi hukumnya wajib, dan orang yang meninggalkannya dalam sholatnya maka berdosa akan tetapi sholatnya tidak batal karena sujud sahwi hanyalah  sebagai jaminan bagi yang lupa. Maka sujud sahwi diwajibkan untuk membaca tasyahud dan salam.[9]
        Sujud sahwi wajib bagi imam dan orang yang sholat munfarid, adapun makmum jika ia lupa di dalamnya sholatnya maka ia tidak wajib untuk sujud sahwi akan tetapi jika imam melakukan sujud sahwi maka makmum wajib mengikutinya. Dan bagi masbuq maka makmum juga harus mengikuti imam,  akan tetapi jika imam tidak sujud maka gugurlah kewajibannya untuk sujud karena mengikuti imam merupakan suatu kelaziman.[10]
        Menurut Syafi’iyah sujud sahwi seperti madzhab Maliki, yaitu sujud sahwi hukumnya sunnah bagi imam dan orang yang sholat munfarid, akan tetapi menjadi wajib ketika seorang makmum sholat di belakang imam walaupun makmum dalam keadaan masbuq dan jika makmum tidak mengikutinya maka sholatnya batal.[11]
        Menurut Hanabilah sujud sahwi hukumnya wajib akan tetapi terkadang menjadi sunnah. Hal-hal yang mewajibkan untuk sujud sahwi sebagai berikut[12]:
1.      Apabila orang yang sholat menambahkan gerakan sholat.
2.      Apabila seseorang salam dari sholatnya sedangkan ia belum menyempunakannya.
3.      Ketika seseorang meninggalkan kewajiban sholat, disebabkan lupa seperti ia lupa tasyahud awal dan membaca doa ketika rukuk.
4.      Apabila ada keraguan ketika seseorang melakukan sholat, akan tetapi jika ia ragu setelah menyelesaikan sholat maka tidak melakukan sujud sahwi.
        Adapun sujud sahwi menjadi sunnah ketika seseorang membaca sesuatu yang tidak disyari’atkan dalam gerakannya, seperti membaca surat dalam gerakan rukuk atau sujud.
D.    Sebab-sebab sujud sahwi
        Sebab-sebab sujud sahwi sangatlah banyak sehingga tak heran jika didalamnya terdapat perbedaan pendapat.  Adapun para ulama berselisih pendapat dalam sebab-sebab sujud sahwi sebagai berikut:
        Menurut Malikiyah penyebab sujud sahwi terbagi menjadi 3 yaitu:[13]
a.       Adanya pengurangan, maksud dari pengurangan adalah meninggalkan sunnah muakkadah di dalam sholat baik sengaja ataupun lupa. Jika seseorang meninggalkan atau mengurangi secara sengaja maka sholatnya batal. Namun jika ia lupa melakukannya maka ia mengerjakannya sebelum lewat akan tetapi jika sudah lewat maka satu rakaat dibatalkan kemudian di qadha.
b.      Adanya penambahan, maksud dari penambahan ialah adanya sedikit penambahan gerak dalam sholat, baik penambahan itu termasuk dari bagian sholat atau tidak. Jika ini dilakukan maka sujud sahwi dilakukan setelah sholat. Adapun penambahan ucapan dalam sholat karena lupa dan ucapan itu termasuk dalam ucapan sholat maka di maafkan dan jika ucapan tersebut bukan dari bagian sholat maka ia harus melakukan sujud sahwi.
c.       Adanya pengurangan beserta penambahan, maksud dari pengurangan beserta penambahan secara bersamaaan adalah mengurangi sunnah meski bukan sunnah muakkadah serta melakukan penambahan , seperti seseorang tidak mengeraskan suara saat membaca surat dan menambahkan rakaat karena lupa maka sujudnya di lakukan sebelum salam karena menguatkan pengurangan daripada penambahan.
        Akan tetapi siapa saja yang ragu akan bilangan rakaat sholat, maka dalam hal ini di ambil rakaat yang sedikit lalu melakukan sujud sahwi setelah salam, sebagaimana sabda Rasulullah :
عن عبد الله بن جعفر أنَ النبي صلى الله عليه و سلَم قال : من شكَ في صلاته فليسجد سجدتين بعد ما يسلَم (رواه أحمد وأبو دادود و النَسائى)
        Dari Abdulloh bin Ja’far, sesunggguhnya Rasulullah shollahu’alaihiwasallam bersabda: “Barangsiapa yang ragu terhadap bilangan raka’at sholatnya maka sujudlah dua kali setelah salam.”[14]
        Menurut Hanafiyah dijelaskan beberapa penyebab melakukan sujud sahwi antara lain:[15]
a.       Sujud sahwi yang dilakukan karena kesengajaan ada 3 hal yaitu:
1.      Sengaja meninggalkan atau mengakhirkan duduk iftirosy
2.      Sengaja melakukan sujud dari raka’at pertama hingga akhir shalat
3.      Sengaja berfikir sehingga menghabiskan masa kira – kira satu rukun
b.      Sujud  sahwi yang dilakukan karena lupa sehingga meninggalkan salah satu perkara wajib dalam shalat, terdapat pada 11 perkara: tidak membaca surat Al-fatihah pada 2 raka’at pertama shalat fardu, tidak membaca surat pada 2 raka’at pertama shalat fardu, mengacak-ngacak atau membolak-balik suara bacaan dalam shalat, Meninggalkan duduk iftirosy, tidak membaca tasyahud pada duduk tawaruk, tidak tertib dalam gerakan yang berulang dalam tiap satu raka’at, tidak tumaninah dalam rukuk dan sujud, mendahulukan membaca surat dari pada surat Al-fatihah atau semisalnya, tidak membaca qunut subuh, meninggalkan takbir do’a qunut, meninggalkan keseluruhan atau sebagian takbir - takbir dalam shalat ied , meninggalkan takbir rukuk pada raka’at ke-2 shalat ied karena itu hukumnya wajib berbeda dengan takbir pada raka’at pertama.
c.       Menambahkan gerakan dalam shalat yang tidak termasuk gerakan shalat , seperti melakukan rukuk 2 kali.
Menurut Syafi’iyah penyebab sujud sahwi adalah meninggalkan salah satu bagian dari sholat yang enam, yaitu: tasyahud awal, duduk tasyahud awal, qunut subuh dan akhir witir pada pertengahan kedua dari bulan ramadhan, berdiri ketika qunut, Shalawat atas Nabi shAllahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud awal, dan shalawat atas keluarga nabi pada tasyahud akhir.[16] Sedangkan dalam kitab al-muhadzab dijelaskan bahwa sebab sujud sahwi karena adanya kekurangan dan penambahan, penambahan dalam hal perkataan atau perbuatan.
Sedangkan menurut Hanabilah penyebab sujud sahwi dikarenakan penambahan seperti menambahkan gerakan dalam sujud, pengurangan seperti meninggalkan rukuk atau sujud, adapun ragu dalam urutan sholat seperti ragu dalam bilangan raka’at sholat. Pendapat ini seperti Syafi’iyah terjadi disebabkan lupa, tetapi jika sengaja maka sholatnya batal jika dalam gerakan dan sholatnya tidak batal jika dalam bacaan.[17]
E.     Sifat sujud sahwi
        Ulama Malikiyah berkata, sujud sahwi dilakukan sebelum salam jika sebabnya pengurangan dan pengurangan beserta penambahan. Adapun dilakukan setelah salam disebabkan karena adanya penambahan. Dalam sujud setelah salam diwajibkan untuk berniat, membaca takbir ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud , dan sunnahnya membaca tasyahud tanpa membaca do’a ataupun shalawat kemudian salam, tetapi salam termasuk wajib bukan syarat sedangkan takbir dan tasyahud hukumnya sunnah .[18]
        Menurut Ulama Hanafiyah berpendapat,” sujud sahwi itu sunnahnya dilakukan setelah salam, baik lupa disebabkan penambahan atau pengurangan dalam sholat. Akan tetapi sujud sahwi boleh juga di lakukan setelah salam tanpa harus mengulangi sholat. Adapun sifat sujud sahwi dilakukan dua kali setelah salam pertama ke arah kanan, kemudian setelah itu wajib membaca tasyahud, solawat atas nabi, dan membaca doa dalam duduk setelah sujud sahwi, menurut pendapat yang shohih karena doa itu tempatnya paling akhir.[19]
        Menurut Ulama Syafi’iyah sujud sahwi dilakukan sebelum salam.[20]  Adapun sifat sujud sahwi seperti sujud yang dilakukan dalam sholat dan membutuhkan niat dalam hati jika dilafadzkan maka sholatnya batal. Dan dalam sujud sahwi boleh membaca doa سبحان الله من لا ينام و لا سهو dan sebagian yang lain mengatakan bahwa berdoa seperti sujud dalam sholat.[21]
        Menurut Hanabilah sujud sahwi dilaksanakan sebelum salam dan juga setelah salam, baik hukumnya sunnah atau wajib. Akan tetapi dianjurkan sujud sahwi setelah seseorang telah salam dari sholatnya sebelum sholatnya sempurna. dan cukup bersujud dua kali walaupun telah melakukan banyak kesalahan karena lupa, walaupun berbeda waktu sujudnya dan kebanyakan tempatnya sebelum salam.[22] Adapun cara sujud sahwi dengan cara bertakbir dahulu, lalu sujud dua kali dan membaca  tasbih, takbir dan istighfar seperti halnya dalam sholat. Kemudian duduk iftirasy jika sholatnya dua rokaat, dan tawaruk jika sholatnya tiga atau empat rokaat.[23]
        Jumhur ulama sepakat bahwa sujud sahwi juga dilakukan dalam sholat sunnah sebagaimana sholat fardhu, karena keumuman penyebutan sholat dalam hadits-hadits yang berkaitan tanpa adanya pembeda antara sholat fardhu dan sholat sunnah.
III.    PENUTUP
A.    Kesimpulan
        Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Sujud sahwi merupakan sujud yang dilakukan sebelum atau sesudah salam ketika seseorang mengurangi atau menambahkan gerakan atau bacaan dalam sholat.
2.      Pada dasarnya hukum sujud sahwi adalah sunnah menurut para ulama kecuali Hanafiyah.
3.      Pelaksanaan sujud sahwi ulama berbeda pendapat, adapun Malikiyah dilakukan setelah salam jika ada penambahan dan sebelum salam jika ada pengurangan, Syafi’iyah sebelum salam, Hanafiyah setelah salam, dan Hanabilah memilih antara dua perkara tersebut.
4.      sebab dari sujud sahwi ialah adanya pengurangan, penambahan, dan keraguan dalam sholat. Adapun sifat sujud sahwi seperti sujud dalam sholat.
B.     Saran
        Sebagai hamba Allah yang beriman sehendaknya menjaga segala yang diperintahkan oleh Allah terkhusus dalam mendirikan sholat. Dan sebaiknya menjaga kekhusyukan dalam sholat dan lebih memperhatikan dalam hal sholat baik gerakan ataupun bacaan, karena sholatlah amalan pertama yang akan dihisab pada hari akhir kelak. Wallahua’lam bish showab




DAFTAR PUSTAKA

‘Ubaid, Manshur ar-rifa’i. 2001. Al-‘Ibadat fi Fiqh Islami. Cet 1. Qohiroh: Dar Ats-Tsaqofiyah Linnasyar.
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim. 2006. Shahih Fikih Sunnah. Cet 1. Jakarta: Pustaka Azzam
Al-Astqary, Muhammad Sulaiman Abdulloh. 1998. Al-Mujalla fi Fiqh Islamy. Cet 1 Damaskus: Darul Qalam
Asy-syirazi, Abi Ishaq. 1992. Al-Muhadzab. Cet 1. Damaskus: Darul Qalam
Hubaib bin Thohir. 1998. Fiqh Maliki wa Adillatuhu. Cet 1. Beirut: Dar Ibnu Hazm.
Syaukani, Imam. 2005. Nailul Author. Al-Qohiroh: Darul El-Hadits
Zuhaili, Wahbah. 2005. Al-Wajiz fi Fiqh Islamy. Cet 1. Damaskus:Darul Fikr.
Zuhaili, Wahbah. 2010. Mausu’ah Fiqh Islami wal Qodhoya Al-Mu’ashiroh. Damaskus: Darul Al- Fikr



[1] Manshur ar-rifa’i ‘ubaid, al-‘ibadat fi fiqhislam,(qohiroh:dar ats-tsaqofiyah linnasyar),Hal 122.cet 1 2001
[2] Dr.Wahbah Zuhaili, Mausu’ah fiqh islami wal qodhoya al-mu’ashiroh, (Damaskus: Darul Fikr) jild 2, hal 89
[3] Imam Syaukani, Nailul Author, ( darul hadits al-qohiroh), jild 3, hal 122
[4] Prof.Dr.Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr), jild 2, hal 89
[5] Ibid, hal 90
[6]  Hubaib bin Thohir, Fiqh Maliki wa Adillatuhu, (Beirut: Dar Ibnu Hazm), jild 1, hal 356
[7] Ibid, hal 355
[8] Imam Syaukani, Nailul Author, ( darul hadits al-qohiroh), jild 3, hal 128
[9] Prof.Dr.Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr), jild 2, hal 88
[10] Ibid
[11] Ibid, hal 92
[12] Muhammad Sulaiman Abdulloh Al-Asyqary, Al-Mujalla fi Fiqh Islamy (Damaskus: Darul Qalam), jild 1, hal 133
[13] Prof.Dr.Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr), jild 2, hal 95
[14] Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, (darul haditsal-qohiroh),jild 3, hal 124
[15] Prof.Dr.Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr), jild 2, hal 100
[16] DR.Wahbah Zuhaili, al-wajiz fi fiqh islamy, (Damaskus:Darul Fikr) jild 1, hal 210
[17] Prof.Dr.Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr), jild 2, hal 100
[18] Prof.Dr.Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr), jild 2, hal 106
[19] Ibid
[20] DR.Wahbah Zuhaili, al-wajiz fi fiqh islamy, (Damaskus:Darul Fikr) jild 1, hal 210
[21] Prof.Dr.Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr), jild 2, hal 107

[22]  Muhammad Sulaiman Abdulloh Al-Asyqary, Al-Mujalla fi Fiqh Islamy (Damaskus: Darul Qalam), jild 1, hal 133
[23]  Ibid, hal 134

7 komentar: