Kamis, 17 Agustus 2017

Pentingnya Berakhlak Karimah





            Pentingnya akhlak karimah pada setiap diri dari sekelompok kaum menunjukkan sebuah kemajuan peradaban kaum tersebut. Karena jika sebuah akhlak tidak terpatri pada setiap diri seseorang maka otomatis hilanglah harga dirinya bahkan hilanglah kemajuan kaumnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

عَنْ نُوحِ بْنِ عَبَّادٍ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوعًا: "إِنَّ الْعَبْدَ لَيَبْلُغُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَاتِ الْآخِرَةِ وَشَرَفَ الْمَنَازِلِ، وَإِنَّهُ لَضَعِيفُ الْعِبَادَةِ. وَإِنَّهُ لَيَبْلُغُ بِسُوءِ خُلُقِهِ دَرَك جَهَنَّمَ وَهُوَ عَابِدٌ"

           Diriwayatkan dari Nuh ibnu Abbad, dari Sabit, dari Anas secara marfu': “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar dapat mencapai tingkatan yang tinggi di akhirat dan kedudukan yang mulia berkat akhlaknya yang baik, padahal sesungguhnya ia lemah dalam hal ibadah. Dan sesungguhnya dia benar-benar dijerumuskan ke dalam dasar Jahanam karena keburukan akhlaknya, walaupun dia adalah seorang ahli ibadah”.
Dengan akhlak kita dapat mengenal orang lain dengan baik. Bahkan dengan akhlak dapat menentukan apakah kita akan mendapat banyak teman atau lawan, dan dengan akhlak pula akan menaikkan derajat seseorang diakhirat kelak. Disebutkan pula: 

وَعَنْ عَائِشَةَ مَرْفُوعًا: "إِنَّ الْعَبْدَ لَيَبْلُغُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ قَائِمِ اللَّيْلِ وَصَائِمِ النَّهَارِ"
Diriwayatkan dari Siti Aisyah secara marfu': “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar dapat mencapai derajat orang yang selalu salat di malam hari dan puasa di siang harinya berkat kebaikan akhlaknya”.
Oleh karenannya penulis akan mencoba menulis tafsir dari sebuah ayat yang membahas tentang salah satu akhlak karimah, yang inshaAllah akan penulis paparkan tafsir ayat ini dengan tafsir maudhu’i, tahlili, dan ijmali. Semoga bermanfaat ^_^.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ (2)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari”.
1.      Tafsirul qur’anul adhim dengan terjemah tafsir ibnu katsir, Ibnu Katsir.
Dalam Firman Allah Swt.:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيّ 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi. (Al-Hujurat: 2)
Ini merupakan etika lainnya yang melaluinya Allah mendidik hamba-hamba-Nya yang beriman agar mereka jangan meninggikan suaranya di hadapan Nabi Saw. lebih tinggi daripada suaranya. Menurut suatu riwayat, ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang syekh, yakni Abu Bakar dan Umar.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Busrah ibnu Safwan Al-Lakhami, telah menceritakan kepada kami Nafi' ibnu Umar, dari Ibnu Abu Mulaikah yang mengatakan bahwa hampir saja kedua orang yang terbaik binasa (yaitu Abu Bakar dan Umar) karena keduanya meninggikan suaranya di hadapan Nabi Saw. di saat datang kepada beliau kafilah Bani Tamim. Lalu salah seorang dari keduanya berisyarat kepada Al-Aqra' ibnu Habis r.a. saudara lelaki Bani Mujasyi', sedangkan yang lain berisyarat kepada lelaki lainnya. Nafi' mengatakan bahwa dia tidak ingat lagi nama lelaki itu. Maka Abu Bakar berkata, "Engkau ini tidak lain kecuali bersikap berbeda denganku." Umar menjawab, "Aku tidak berniat berbeda denganmu." Maka suara keduanya kuat sekali memperdebatkan hal tersebut, lalu sehubungan dengan peristiwa itu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. (Al-Hujurat: 2)
Ibnuz Zubair r.a. mengatakan bahwa sesudah turunnya ayat ini Umar r.a. tidak berani lagi angkat bicara di hadapan Rasulullah Saw. melainkan mendengarnya lebih dahulu sampai mengerti. Akan tetapi, Ibnuz Zubair tidak menyebutkan dari ayahnya tentang Abu Bakar r.a. Hadis ini diriwayatkan secara tunggal oleh Imam Muslim.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Mulaikah, bahwa Abdullah ibnuz Zubair r.a. pernah menceritakan kepadanya bahwa pernah datang iringan kafilah dari Bani Tamim kepada Nabi Saw. Maka Abu Bakar r a berkata, "Angkatlah Al-Qa'qa' ibnu Ma'bad sebagai pemimpin mereka " Dan Umar r.a. berkata, "Angkatlah Al-Aqra' ibnu Habis sebagai pemimpin mereka." Maka Abu Bakar r.a. berkata, "Tiada lain tujuanmu hanya menentangku." Umar berkata, "Aku tidak bermaksud menentangmu." Akhirnya keduanya perang mulut hingga suara mereka gaduh di hadapan Nabi Saw. Maka turunlah firman Allah Swt.: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu. mendahului Allah dan Rasul-Nya. (Al-Hujurat: 1) sampai dengan firman Allah Swt.: Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka. (Al-Hujurat: 5), hingga akhir ayat.
Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari dalam kitab tafsirnya secara munfarid dengan sanad yang sama.
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Husain ibnu Umar, dari Mukhariq, dari Tariq ibnu Syihab, dari Abu Bakar As-Siddiq r.a. yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi. (Al-Hujurat: 2) Aku (Abu Bakar) berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah, aku tidak akan berbicara lagi kepadamu melainkan dengan suara yang rendah (pelan).
Husain ibnu Umar sekalipun predikatnya daif, tetapi hadis ini telah kami kemukakan pula melalui riwayat Abdur Rahman ibnu Auf dan Abu Hurairah r.a. dengan lafaz yang semisal; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Abdur Rahman ibnu Auf dan Abu Hurairah pun telah mengatakan hal yang semisal; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Azar ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Anas, dari Anas ibnu Malik r.a., bahwa Nabi Saw. kehilangan Sabit ibnu Qais r.a. Maka seorang lelaki berkata, "Wahai Rasulullah, saya mengetahui di mana ia berada." Lalu lelaki itu mendatanginya, dan menjumpainya di rumahnya sedang menundukkan kepalanya. Maka lelaki itu bertanya kepadanya, "Mengapa kamu?" Ia menjawab, bahwa dirinya celaka karena telah meninggikan suaranya di hadapan Nabi Saw. lebih dari suara Nabi Saw. Dan ia beranggapan bahwa amal baiknya telah dihapuskan, maka dia termasuk ahli neraka. Lelaki itu kembali kepada Nabi Saw. dan menceritakan kepada beliau apa yang dikatakan oleh orang yang dicarinya itu, bahwa dia telah mengatakan anu dan anu. Musa ibnu Anas melanjutkan kisahnya. bahwa lalu felaki itu kembali menemuinya seraya membawa benta gemb.ra dan Nabi Saw. yang telah bersabda:
"اذْهَبْ إِلَيْهِ فَقُلْ لَهُ: إِنَّكَ لَسْتَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَلَكِنَّكَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ"
Kembalilah kamu kepadanya dan katakanlah kepadanya, "Sesungguhnya engkau bukan ahli neraka, tetapi engkau adalah termasuk ahli surga.” (Imam Bukhari meriwayatkannya melalui jalur ini secara tunggal).
Para ulama mengatakan bahwa makruh meninggikan suara di hadapan kuburan Nabi Saw. sebagaimana hal tersebut dimakruhkan saat beliau Saw. masih hidup. Karena sesungguhnya beliau Saw. Tetap dimuliakan, baik semasa hidupnya maupun sesudah wafatnya untuk selamanya.
###########
Kemudian Allah Swt. melarang orang-orang mukmin berbicara kepadanya dengan suara yang keras sebagaimana seseorang berbicara dengan temannya, bahkan dia harus bersikap tenang, menghormati, dan memuliakannya saat berbicara kepada beliau Saw. dan tentunya dengan suara yang tidak keras. Karena itulah Allah Swt. menyebutkan dalam firman-Nya:
{وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ}
“Dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain”. (Al-Hujurat: 2)
Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain:
{لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا}
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain)”. (An-Nur: 63)
Adapun firman Allah Swt.:
{أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ}
Supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari”. (Al-Hujurat: 2)
Yakni sesungguhnya Kami melarang kalian meninggikan suara di hadapan Nabi Saw. lebih dari suaranya tiada lain karena dikhawatirkan beliau akan marah, yang karenanya Allah pun marah disebabkan kemarahannya. Dan karenanya maka dihapuslah amal baik orang yang membuatnya marah, sedangkan dia tidak menyadarinya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis sahih yang menyebutkan:
"إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لَا يُلقي لَهَا بَالا يُكْتَبُ لَهُ بِهَا الْجَنَّةُ. وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَط اللَّهِ لَا يُلقي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ السموات وَالْأَرْضِ"
“Sesungguhnya seseorang benar-benar mengucapkan suatu kalimat yang diridai Allah Swt., sedangkan dia tidak menyadarinya, hingga ditetapkan baginya surga karenanya. Dan sesungguhnya seseorang benar-benar mengucapkan suatu kalimat yang dimurkai Allah Swt. tanpa ia sadari, hingga menjerumuskan dirinya ke dalam neraka karenanya, lebih jauh dari jarak antara langit dan bumi”.
Kemudian Allah Swt. menganjurkan kepada orang-orang mukmin agar merendahkan suaranya di hadapan Nabi Saw. Allah memberi mereka semangat dan bimbingan serta anjuran kepada mereka untuk melakukannya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى}
Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. (Al-Hujurat: 3)
Yakni diasah untuk bertakwa dan menjadikannya sebagai ahli dan tempat untuk takwa, sehingga takwa benar-benar meresap ke dalam hati sanubarinya.
{لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ}
Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar. (Al-Hujurat: 3)
2.      Tafsir Al Qurtubi, Imam Al Qurtubi.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ...
Imam Bukhari  dan at-tirmidzi meriwayatkan dari ibnu abi mulikah berkata menceritakan kepada kami abdullah bin zubair bahwasannya aqra’ bin habis menemui rasulullah sallahu ‘alaihi wasallam, ketika itu sahabat abu bakar dan umar sedang menyelisihkan suatu permasalahan dihadapan Rasulullah sallahu ‘alaihi wa sallam hingga suara abu bakar dan umar meninggi, dan seketika turunlah ayat ini. Maka setelah itu apabila umar  berbicara didepan rasulullah lebih berhati-hati.
Disebutkan bahwa seorang yang meninggikan suaranya melebihi suara nabi maka amalannya akan sia-sia dan tempatnya  adalah di neraka.adalah tsabit bin qais berkata kepada nabi  bahwa ia adalah orang yang keras suaranya, adan ia takut amalannya akan sia-sia karena perihal suara. Oleh karena itu rasulullah sallahu ‘alaihi wasallam bersabda engkau bukan golongan dari mereka akan tetapi engkau hidup dalan kebaikan dan mati di dalam kebaikan pula. Kemudian turunlah ayat :
....إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (18)
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
...وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ...
Yaitu janganlah mengatakan hei muhammad, hei muhammad”, tapi pangilah nama nabi dengan sebutan wahai nabi Allah, wahai rasulullah, sebagai penghormatan kepada beliau. Dikatakan sebagaimana munafiqun mereka meninggikan suara-suara mereka dihadapan nabi, untuk merendahkan muslimin atas itu, maka bagi kaum muslimin hal tersebut dilarang.
...كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْض...
Yakni janganlah meninggikan suara-suara kalian sebagaimana kalian memanggil sesama kalian. Ini menunjukkan tidak adanya larangan mutlak tentang meninggikan suara, namun yang dilarang adalah meninggikan suara yang bersifat khusus dan tertentu. Karena meninggikan suara akan menurunkan derajar muru’ah seseorang dan menjatuhkan harga diri.
 ...أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ (2)
Akibat dari akhlak buruk ini ialah akan menghilangkan dan membatalkan amalan-amalan kita sedangkan kita tidak sadar dan tidak tahu tentang hal tersebut.
3.      Fathul qadir, Imam Muhammad Bin Ali Bin Muhammad As Syaukani.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ (2)
            Maksud ayat diatas adalah meninggikan suara karena menunjukkan tidak adanya akhlaq karimah dan menghilangkan rasa hormat. Karena menjaga suara dan tidak meninggikannya menunjukkan penghormatan dan rendah hati. Dan bisa diartikan, hal ini menunjukkan adanya larangan untuk banyak berbicara dan banyak bercanda. Sedangkan  maksud dari meninggikan suara ialah tidak memanggil nabi dengan panggilan sesama mereka.

Referensi:
Tafsirul qur’anul adhim dengan terjemah tafsir ibnu katsir, Ibnu Katsir, 2013.
Tafsir al qurtubi, Imam Al Qurtubi, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut, 2010.
Fathul qadir, Imam Muhammad Bin Ali Bin Muhammad As Syaukani, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut, 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar